Menara Kembar World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat, telah lama rata dengan tanah. Tetapi kengerian akan adanya serangan teror besar tampaknya masih menghantui penduduk AS, juga masyarakat internasional.
Tanggal 11 September 2001 menyisakan kenangan buruk sekaligus misteri besar di benak penduduk dunia. Uniknya, belum ada yang sepakat tentang siapa pelaku serangan teror yang menghancurkan Gedung WTC – simbol kedigdayaan ekonomi AS – itu. Mengapa? Paling tidak, ada tiga jenis pelaku yang dapat diperdebatkan.
Pertama,pemerintahan Presiden AS George Walker Bush menuding Osama bin Laden–miliarder asal Arab Saudi—dan Al-Qaeda (organisasi teroris internasional paling menakutkan) adalah dalang dan pelakunya. Hal ini terlepas dari simpang siurnya pendapat dunia tentang keterlibatan Osama dan keberadaan Al-Qaeda beserta jaringannya.
Kedua, sejumlah kalangan menganggap Tragedi WTC yang merenggut ribuan nyawa tersebut justru disutradarai jajaran di pemerintahan Bush sendiri. Ketiga, Israel diklaim telah bekerja sama dengan dinas intelijen maupun petinggi pemerintahan di Amerika untuk menghancurkan Gedung WTC. Sejak saat itu, istilah ”teroris ataupun terorisme” makin marak diperbincangkan. Ada yang menganggap Tragedi WTC menjadi ”The Day the World Changed”.
Ada juga yang berpendapat dunia yang berubah kecuali Amerika. Pendapat yang pertama mengandung pemahaman bahwa ”The World Changed” karena tiga faktor. Pertama, penduduk di setiap negara di dunia ini diselimuti rasa takut jika serangan seperti Tragedi 11 September ataupun yang lebih dahsyat lagi menimpa mereka. Kedua,akibat serangan teroris ke AS itu, banyak negara yang kemudian menindas rakyatnya sendiri atas nama mencegah aksi teror.
Ketiga, mayoritas para pemimpin di berbagai negara (terpaksa) mengambil kebijakan yang mendukung upaya Amerika dalam memerangi terorisme dan jaringannya. Pendapat kedua dapat ditafsirkan dengan dua hal penting.Pertama,rakyat Amerika dihinggapi rasa tidak aman tidak saja di luar negeri, tetapi juga di dalam negeri mereka sendiri.
Ada kekhawatiran bila serangan-serangan teror lanjutan akan kembali terjadi di pojok-pojok wilayah negeri mereka. Kedua, pemerintah Presiden Bush menerapkan kebijakan luar negeri yang cenderung agresif dan merugikan negara lain.
Perang Belum Berakhir
Hal yang kemudian disaksikan oleh masyarakat internasional adalah Presiden Bush segera mendeklarasikan perang melawan terorisme. Gedung Putih— seperti ditegaskan Bush—hanya memberikan dua pilihan dilematis kepada setiap pemimpin di berbagai belahan dunia: Either your side with us or with terrorists (mendukung kami atau teroris). Penolakan rezim Taliban untuk menyerahkan Osama–tersangka dalang Tragedi WTC yang kebetulan bermukim di Afghanistan–dijadikan alasan oleh Presiden Bush untuk menggelar mesin perangnya.
Tepat pada 7 Oktober 2001, lima kota besar di Afghanistan (Kabul, Jalalabad, Mazar-e-Syarif, Kandahar, dan Herat) dirudal militer AS, baik melalui Pakistan di kawasan Asia Selatan maupun Uzbekistan dan Kazakhstan di Asia Tengah. Negeri Mullah yang telah dilanda perang selama 23 tahun lebih dan mengalami kekeringan serta sanksi ekonomi oleh PBB itu jelas tidak berdaya menghadapi agresi militer AS dan sekutunya.
Pemerintahan Taliban resmi berakhir ketika Kabul jatuh ke tangan tentara Aliansi Utara pada 13 November 2001. Pasukan Amerika dan sekutunya pun bercokol di Afghanistan hingga sekarang. Selesai menghancurkan pemerintahan Taliban,Presiden Bush mengerahkan tentaranya ke Timur Tengah.Rezim Saddam Hussain–orang nomor wahid di Irak yang dulu karib Washington–digempur.
Kapal-kapal induk AS di Teluk Persia dan ratusan pesawat tempurnya yang bermarkas di Turki dan Kuwait memuntahkan rudal-rudal tercanggih buatan industri militer Amerika. Irak diserbu sejak 19 Maret 2003 atas tuduhan memiliki senjata nuklir. Pada 9 April 2003, Baghdad jatuh ke tangan tentara AS dan sekutunya. Saddam tertangkap pada 13 Desember 2003 dan akhirnya mengembuskan nafas di tiang gantungan pada akhir 2006.
Dilengserkannya rezim Taliban (2001) dan rezim Saddam (2003) ternyata tidak membuat perang selesai.Taktik gerilya ataupun serangan bom bunuh diri berikut ledakan bom terus berlanjut, baik di Afghanistan maupun Irak. Para prajurit Amerika dan sekutunya meregang nyawa di kedua negara tersebut.Bahkan,”perang ala Vietnam” semacam menjadi pemandangan yang tidak mengejutkan di Kabul dan Baghdad. Hal inilah yang tampaknya menarik kita untuk berkesimpulan bahwa war has not yet ended alias perang masih akan lama.
Misteri Tragedi WTC
Afghanistan dan Irak dirudal atas nama perang melawan terorisme. Sedangkan kita tahu, Pemerintah Taliban sampai detik-detik terakhir tembakan salvo mesin perang Amerika tetap bersikukuh tidak tahu-menahu soal Tragedi WTC.Rezim Saddam Hussain pun tidak memiliki senjata pemusnah massal seperti dituduhkan Washington.
Bahkan, Kepala Tim Inspeksi Senjata Nuklir Mayjen Keith Dayton yang dikirim oleh Pentagon dengan 1.400 pakar nuklir juga tak menemukan secuil molukel atom di Irak. Jadi, gempuran ke Kabul dan Baghdad menyisakan misteri tersendiri. Hal ini sama misterinya dengan Peristiwa 11 September 2001 itu sendiri. Ada sejumlah pertanyaan yang sangat layak diajukan: benarkah Gedung WTC di New York hancur akibat hantaman pesawat?
Apakah mungkin gedung yang disangga baja itu meleleh hanya karena api? Mengapa jet-jet tempur AS tidak mengudara? Siapa sesungguhnya dalang di balik Tragedi 11 September? Apa kepentingan Washington dan Pentagon? Apa kaitannya dengan kepentingan energi di beberapa dekade mendatang. Bagaimana nasib dunia Islam? Mengapa Pakistan tidak memihak Taliban, tetapi AS?
Jika selama ini opini dunia seolah digiring oleh pemerintahan Bush untuk meyakini Tragedi WTC didalangi oleh Osama, maka ada sisi lain yang tentu pantas untuk disimak. Ini setidaknya pendapat banyak kalangan, mengapa misteri Tragedi 11 September perlu kembali diperbincangkan? Ada empat hal penting yang mendasarinya. Pertama, Prof Dr Morgan Reymonds (guru besar pada Texas University, USA) menyatakan ”Belum ada bangunan…baja…ambruk hanya… oleh kobaran api”.
Kedua, Michael Meacher (mantan Menteri Lingkungan Inggris, 1997 – 2003) berpendapat ”…perang melawan terorisme… dijadikan…tabir kebohongan guna mencapai tujuan-tujuan strategis geopolitik AS”.Ketiga,Prof Dr Steven E Jones (guru besar fisika pada Birgham Young University, USA) membeberkan hasil risetnya ”…bahan-bahan peledak telah diletakkan…di bangunan WTC”. Keempat, Osama bin Laden (tersangka dalang Tragedi 11 September) menegaskan ”Saya telah katakan… saya tidak terlibat dalam… 11 September”.
Karenanya, menjadi penting upaya untuk menyingkap misteri Tragedi WTC meskipun telah lama berlalu. Dari keempat hal penting di atas, dapat disimpulkan perang melawan terorisme yang diprakarsai pemerintahan Bush perlu dikaji ulang, termasuk berupaya mengungkap pelaku peledakan Menara Kembar WTC yang sesungguhnya.
Kita bisa menjadikan komentar Andreas von Buelow dijadikan acuan.Di harian Tagesspiegel,Berlin,mantan Menristek Jerman ini semacam menyadarkan kita semua dengan ungkapannya: Carilah Kebenaran.Wallahu’alam bisshawab. (*)
0 comments:
Post a Comment