Sabtu, 14 Juli 2007
Research Fellow pada Middle East and Islamic Transformative Studies Universitas Al Azhar Indonesia Jakarta serta Kandidat Doktor pada University Kebangsaan Malaysia (UKM)
Pandangan masyarakat internasional sedang tertuju ke Pakistan. Media massa sibuk menjadikan peristiwa berdarah di Masjid Merah sebagai headlines. Ada apa sebenarnya? Inilah pertanyaan yang sangat boleh jadi menyelimuti banyak kalangan.
Militer Pakistan terlibat baku senjata dengan penduduk Pakistan yang diklaim sebagai kelompok militan yang menempati Masjid Lal (Masjid Merah) di tengah kota Islamabad. Banyak nyawa melayang dan ratusan lainnya terluka. Pemimpin kelompok yang menempati masjid, Abdul Rasyid Ghazi, pun meninggal tertembus peluru tajam pasukan komando Pakistan di persembunyian bawah tanah Masjid (Republika, 11/7). Sejak Pakistan merdeka dari Inggris pada 14 Agustus 1947, baru kali ini terjadi banjir darah di ibukota negara tersebut. Presiden Pakistan Jenderal Perves Musharraf hanya memberi dua opsi kepada kelompok yang menempati masjid itu, menyerah atau mati.
Musharraf gerah
Selama penulis menimba ilmu di Islamabad, para tokoh masyarakat di sekitar Masjid Lal dikenal santun. Jamaah di Masjid Lal juga tidak membuat aksi kekerasan ketika pada tahun 1998, Imam Masjid Lal yang juga Ketua Ahli Ru’yah Pakistan meninggal diberondong orang tak dikenal usai shalat Shubuh. Persis di samping area Masjid Lal adalah pusat perbelanjaan murah meriah. Masjid yang terletak berdekatan dengan Mabes Angkatan Laut Pakistan ini mulai disorot tajam ketika Musharraf secara mendadak mendukung aksi invasi AS ke Afghanistan pascatragedi 11/9.
Sejak keberpihakan itu, para khatib dan Imam di Masjid Lal hampir tidak pernah berhenti memojokkan posisi penguasa militer Pakistan. Padahal, di awal kepemimpinannya, Musharraf sangat dibanggakan oleh rakyat Pakistan karena berhasil mendepak pemerintahan sipil yang korup. Wajar, bila Musharraf gerah. Apalagi, Pemilu Nasional Pakistan tidak lama lagi akan digelar.
Tragedi berdarah di Masjid Lal sejatinya menggambarkan betapa pemerintah Jenderal Musharraf tidak lagi disenangi oleh rakyat Pakistan. Jika dulu Sang Jenderal disambut hangat dengan melengserkan PM Nawaz Sharif, maka kini ia tak lagi populer di mata warganya. Dukungan Islamabad dalam invasi militer Amerika ke Afghanistan adalah penyebab utamanya. Akibat kedekatannya dengan Washington, Musharraf terpaksa menangkapi rakyatnya sendiri dalam rangka memerangi jaringan terorisme yang diklaim Presiden Bush dan negara-negara Barat telah berpindah dari Afghanistan ke wilayah Pakistan.
Sejak rezim Taliban dilengserkan pada 13 Nopember 2001, banyak sisa-sisa Taliban yang bersembunyi di sepanjang wilayah perbatasan Pakistan dan Afghanistan. Sebab, penduduk di perbatasan mayoritas adalah suku Pusthun yang juga menjadi basis pendukung pemerintahan Taliban. Upaya Musharraf untuk menangkapi sisa-sisa Taliban dan pengikut Alqaidah juga tak berjalan mulus meski 80 ribu tentara Pakistan telah dikerahkan. Sedangkan pemerintah Presiden Bush selalu menyudutkan posisi Islamabad yang dinilai tak serius memberantas ‘kaum teroris’ di perbatasan Pakistan.
Posisi Jenderal Musharraf sendiri sangat dilematis. Ia berkali-kali mengalami upaya pembunuhan. Selama empat kali percobaan pembunuhan atas dirinya, Musharraf berhasil lolos dari incaran maut. Entahlah nantinya, hanya waktulah yang bisa menjawabnya. Dalam hemat penulis, ada tiga keuntungan sekaligus risiko yang tengah dihadapi Presiden Musharraf akibat mendukung perang melawan teror versi Bush. Pertama, dukungan Musharraf terhadap AS dalam war on terrorism di Afghanistan sangat menguntungkan Pakistan. Islamabad dikucuri bantuan dana sebesar 396,5 juta dolar AS atas bantuan informasi intelijen yang diberikan. Berbagai sanksi ekonomi dan militer yang dijatuhkan Washington akibat uji coba nuklir Pakistan tahun 1998 dihapuskan. Total dana yang mengalir ke kocek Musharraf mencapai 4,2 miliar dolar.
Kedua, Pakistan tidak lagi diisolasi dunia internasional. Jenderal Musharraf bisa tersenyum lega karena aksi kudetanya dulu membuat Pakistan dijauhi banyak negara. Ketiga, kerja sama militer Amerika dengan Pakistan yang terhenti sejak Perang Soviet melawan Afghan (1979 – 1989) telah dipulihkan. Ini sangat penting agar pasokan senjata dari Pentagon berjalan lancar sehingga Islamabad bisa menandingi kekuatan militer India, musuh bebuyutannya.
Sedangkan risiko yang harus dipikul Musharraf adalah pertama, Cina memandang curiga pada kedekatan Washington dengan Islamabad. Sebagai sekutu terdekat Cina, Pakistan diharapkan menjaga jarak dengan Amerika. Pemerintah Presiden Hu Jintao tak ingin Musharraf terlalu akrab dengan Bush karena kepentingan Beijing di kawasan Asia Selatan mulai dijegal.
Kedua, Jenderal Musharraf menghadapi aksi perlawanan dari rakyatnya sendiri yang benci AS. Di sebagian kalangan sipil dan bahkan militer Pakistan, Musharraf dituding berkomplot dengan Bush untuk membunuhi orang Islam dan menggadaikan kedaulatan negara Republik Islam Pakistan. Tak heran bila ada elemen militer di Pakistan yang juga ikut merancang pembunuhan atas Musharraf pada 13 Desember 2003. Sedangkan kalangan sipil radikal tak bosan berdemo dan melakukan aksi anarkis menentang kedekatan Musharraf dengan Washington.
Ketiga, Musharraf menghadapi resiko pembunuhan oleh sisa-sisa Taliban dan jaringan Alqaidah yang kini bertebaran di seantero wilayah Pakistan. Mereka ini terus berupaya melenyapkan nyawa Musharraf tanpa atau dengan bantuan elemen sipil-militer Pakistan. Alasannya jelas, Jenderal Musharraf terlibat dalam menghancurkan pemerintahan Islam di Afghanistan. Walhasil, banjir darah di Masjid Lal tak diragukan merupakan puncak perlawanan terhadap kedekatan pemerintah Musharraf dengan AS
0 comments:
Post a Comment