Google
 

Tuesday, January 15, 2008

AS, Afghanistan, Irak, dan Ekspor Demokrasi

Dalam pidato pelantikan jabatan presiden yang kedua kalinya pada 20 Januari 2005, di Capitol Hill, George W Bush membeberkan kebijakan luar negeri AS paling mengemparkan. Yakni, to seek and to support the growth of democratic movovements and institutions in every nation and culture. Pernyataan Presiden Bush seolah sedang menakut-nakuti negara-negara seperti Kuba, Korea Utara, Arab Saudi, dan sejumlah negara Arab yang dinilainya tak demokratis.

Menurutnya, harapan cerah bagi langgengnya perdamaian di dunia versi AS adalah the expansion of freedom in all world. Apakah ini pertanda bahwa Riyadh, Teheran, Pyongyang, dan Havana wajib menganut sistem pemerintahan yang benar-benar demokratis sesuai dengan demokrasi model Barat? Entahlah. Yang pasti, Menlu AS yang baru, Condoleezza Rice sebelum bertolak ke sejumlah negara di Eropa Barat beberapa hari lalu telah 'membidik' Kerajaan Arab Saudi agar memberikan angin segar bagi tumbuhnya demokrasi di negeri gurun itu.

Kebijakan luar negeri AS yang ditegaskan oleh Bush itu tidak diragukan lagi menimbulkan rasa takut luar biasa di banyak negara. Amerika Serikat dipastikan akan menggunakan segala cara, termasuk agresi militer, untuk menyebarkan nilai-nilai demokrasi. Invasi militer AS ke Afghanistan dan Irak adalah buktinya. Pemerintahan yang diklaim non-demokratis di kedua negara itu telah resmi runtuhkan. Baik Kabul maupun Baghdad telah menyelenggarakan pemilu yang dalam anggapan mayoritas dunia Barat, khususnya AS, sungguh-sungguh demokratis. Hamid Karzai terpilih sebagai Presiden Afghanistan, sedangkan Iyad Allawi sukses menempati posisi Perdana Menteri di Irak sebelum dan setelah masa transisi.

Gagal
Pertanyaan menarik yang layak kita ajukan adalah: apakah ambisi Bush menyebarkan nilai-nilai demokrasi itu bakal terwujud? Pemerintah Bush nampaknya sangat yakin dengan keberhasilannya. Terlebih, bila Gedung Putih menganggap invasinya ke Afghanistan dan Irak benar-benar menuai sukses. Padahal, Afghanistan dan Irak belum bisa dikatakan stabil hingga sekarang. Hamid Karzai memenangkan pemilu multipartai 9 Oktober 2004 di Afghanistan. Tapi, Negara Islam Afghanistan di bawah Karzai masih rawan. Keberadaan ribuan tentara AS di Kabul ternyata tak berhasil menghentikan aksi-aksi bersenjata yang dilancarkan sisa-sisa Taliban, utamanya di Afghanistan Timur.

Tak heran bila banyak rakyat Afghan sendiri malah ingin 'bernostalgia' dengan era Taliban. Soalnya, siituasi keamanan di bawah pemerintahan Mullah Omar sangat stabil. Dengan sistem pemerintahan yang diklaim Barat tidak demokratis, Taliban mampu menciptakan stabilitas di negeri yang dilanda perang selama 23 tahun itu. Sayang, rezim Taliban hanya berumur 6 tahun. Agresi militer AS dan sekutunya sejak 7 Oktober 2001 memaksa Taliban gulung tikar pada 13 Nopember 2001 setelah dibombardir secara besar-besaran dengan pelbagai jenis bom -- carpet, cluster dan bunker-busting bombs-- melalui laut, udara dan darat.

Tetapi, kekacauan berisi serangkaian aksi pembunuhan, penjarahan, dan konflik antarpenguasa lokal malah tak terhindarkan. Sekitar 4.500 pasukan ISAF (International Security Assistance Force) di Kabul tetap mandul menciptakan keamanan. Bahkan, Wapres Afghan sendiri, Abdul Qadir, tewas diberondong di jantung kota Kabul pada 6 Juli 2002. Nasib baik untungnya masih berpihak pada Pangab Afghan, Jenderal Qasim Fahim Khan, yang hampir melayang nyawanya terkena serangan bom saat berkunjung ke wilayah Jalalabad di Afghanistan Timur. Hamid Karzai juga hampir tewas dalam ledakan bom di Kandahar, Afghanistan Selatan, ketika mengunjungi tempat munculnya milisi Taliban di akhir tahun 2003. Keberuntungan juga masih dimiliki Jenderal Abdul Rashid Dostum, tokoh Aliansi Utara dari suku Uzbek, yang selamat dari upaya pembunuhan tiga pekan silam.

Kasus konflik bersenjata di Irak pascajatuhnya Baghdad pada 9 April 2003 juga bukti kegagalan AS. Baku tembak antara pasukan koalisi pimpinan AS dan pejuang Irak belum usai sampai detik ini. Aksi-aksi bom bunuh diri makin marak. Meski pemilu diselenggarakan pada 30 Januari 2005 dengan Iyad Allawi terpilih sebagai PM, Irak tetap belum stabil. Bahkan, empat hari sebelum pemilu, 31 orang marinir AS tewas. Tak salah bila hampir media massa di Amerika menyebut tewasnya pasukan elite AS dalam sehari itu sebagai 'The Deadliest Day' (Hari Paling Mematikan). Padahal, pada 13 Desember 2003 bertepatan dengan kunjungan Presiden Megawati ke Pakistan, penguasa tentara pendudukan AS di Irak, Paul Bremer, sangat sesumbar bahwa tertangkapnya Saddam Hussain pada hari itu akan membuat Baghdad aman. Nyatanya, 150.000 tentara AS berikut 24.000 pasukan dari negara-negara lain yang di Irak belum sepenuhnya bisa mengatasi perlawanan bersenjata para gerilyawan Irak.

Apakah pemilu di Irak yang dimonitor 120 pemantau internasional akan gagal mewujudkan demokrasi di negeri 1001 malam itu? Hanya Gedung Putih dan Pentagon yang berhak menjawabnya. Pemerintah Bush telah mengorbankan banyak nyawa prajurit AS di Irak. Itu belum termasuk ribuan anak yatim-piatu yang bapaknya tewas diterjang peluru kaum gerilyawan Irak. Sekiranya Presiden Bush akhirnya mengabulkan permintaan Panglima Komando Pusat AS yang bermarkas di Qatar, Jenderal Abizaid, agar mengirimkan pasukan tambahan ke Irak, hal itu tak pelak hanya akan menambah bilangan janda-janda di kalangan militer Amerika. Sudah 1.500 personel militer AS (ada yang mengklaim 1.905) meregang nyawa sejak invasinya ke Irak pada 20 Maret 2003. Itu belum kerugian secara ekonomi akibat perang. Pemerintah Bush sendiri harus merogoh kocek sebesar 1 miliar dolar AS setiap minggu guna membiayai operasi militernya di seluruh wilayah Irak.

Amerikanisasi
Ambisi besar Bush, sosok yang dikelilingi Kelompok Rajawali, untuk men-demokratisasikan negara-negara yang divonisnya belum demokratis terlalu berlebihan. Taliban dilengserkan, pemilu diselenggarakan dan boneka pilihan AS dijadikan pemimpin. Bush mungkin lupa bahwa kudeta adalah fenomena biasa di Afghanistan. Ratusan tahun Afghanistan menyaksikan perebutan kekuasaan. Dari sejak Habibullah (1901-1919) sampai Presiden Burhanuddin Rabbani (1992-1996) yang dijatuhkan milisi Taliban pada 26 September 1996. Bush juga bisa jadi tak pernah membaca sejarah kudeta di Irak mulai Abdul Karim Kasim (1958-1963 sampai Saddam Hussain (1979-2003). Karenanya, aneh bila Bush sekarang hendak mengekspor demokrasi ke seluruh dunia. Demokrasi yang bermakna dari, oleh dan untuk rakyat seperti didefinisikan oleh Abraham Lincoln memang sistem pemerintahan yang pada saat ini dinilai paling diterima. Namun, melakukan penggulingan rezim guna memaksakan demokrasi seperti halnya di Afghanistan dan Irak jelas dipertanyakan validitas hukumnya. Toh, AS sendiri belum bisa membuktikan keberhasilan demokrasi, baik di Kabul maupun di Baghdad. Kapan Afghanistan dan Irak akan sunyi dari suara letusan senjata dan dentuman meriam tak seorang pun yang secara tepat bisa memprediksinya.

Sementara itu, keinginan AS menggoyang Iran sudah disikapi serius oleh Teheran. Meski tudingan sebagai state-sponsored terrorism begitu keras digaungkan oleh Bush, para pemimpin Iran menyatakan siap berkonfrontasi dengan militer AS. Melalui Ketua Delegasi Iran yang sedang berunding dengan Uni Eropa dalam masalah nuklir, Hassan Rohwani, Teheran tetap juga bersikeras melanjutkan proyek pembuatan senjata pamungkasnya. Sedangkan Korea Utara dikabarkan telah selesai membuat senjata nuklir. Pyongyang siap menggunakan senjata pemusnah massalnya (weapons of mass destruction) jika Washington nekat menggelar aksi militer ke negeri itu.

Hasrat pemerintah Bush untuk melakukan 'Amerikanisasi' terhadap negara-negara lain melalui demokrasi nampaknya sulit tercapai. Hal ini terlepas dari perjalanan selanjutnya, bahwa kenekatan AS itu sebetulnya membuat khawatir, untuk tidak mengatakan takut, mayoritas negara Muslim. Mayoritas dari 57 negara anggota Organisasi Konferensi Islam(OKI) tidak menerapkan demokrasi seperti yang dikehendaki Amerika Serikat. Banyak negara OKI di kawasan Timur Tengah yang masih menganut sistem monarki atau otoriter. Namun, pemerintah Bush tetap tak mudah untuk mengokohkan 'Pax-Americana' sebagaimana dimimpikan Kelompok Neo-Konservatif AS. Sebaiknya Presiden Bush beserta jajarannya mengkaji-ulang kebijakan luar negeri AS yang menekankan penyebaran demokrasi ke seantero jagat. Pemerintah Bush seharusnya bercermin dari kegagalannya menciptakan stabilitas dan keamanan di Afghanistan dan Irak. Karenanya, mengekspor demokrasi model AS, terlebih dibarengi dengan kekerasan militer, hanya akan membuahkan konflik tak berkesudahan. Wallahu'alam.
Dimuat di Harian REPUBLIKA

0 comments: