Perang Teluk Jilid II antara Bush vs Saddam seolah memberikan 'ilham' khusus buat Presiden Megawati Soekarnoputri. Apalagi, kesuksesan AS meraih kemenangan atas Irak secara militer telah membukakan mata yang ada di jajaran pemerintahannya bahwa kekerasan senjata memang diperlukan untuk menuntaskan konflik Aceh. Inilah setidaknya yang tengah berkembang di kalangan para pengambil kebijakan (policy-makers) di Jakarta. Entah karena dorongan rasa patriotisme dan nasionalisme ataupun karena kepentingan tertentu, operasi militer ke Aceh tampaknya dianggap sebagai suatu keharusan.
Jika begini arahnya, maka penghentian permusuhan (Cessation of Hostilities Agreement/CoHA) yang ditandatangani di Jenewa, Swiss, 9 Desember 2002 antara pemerintah RI dan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) terancam tidak memiliki arti lagi. Lebih-lebih, di satu pihak, Jakarta menuding GAM yang melanggar perjanjian damai tersebut, sementara GAM balik menuduh bahwa pemerintah RI-lah yang tidak menghormati CoHA.
Hebatnya, tokoh Muslim Indonesia semisal Nurcholish Madjid, Amin Rais dan Ahmad Syafi'i Ma'arif - yang selama ini kita dengar sebagai pendukung HAM dan selalu menginginkan sikap lunak - juga ikut-ikutan mendukung 'sikap keras' pemerintah bila GAM tetap nekad menuntut opsi merdeka. Sejauh ini, upaya kedua belah pihak untuk menuntaskan masalah secara damai sepertinya tak lagi memiliki harapan. Pun Pertemuan Joint Council (Dewan Bersama) antara GAM, RI dan Henry Dunant Center (HDC) di Jenewa pada 25 April 2003 batal dilangsungkan.
Rombongan delegasi pemerintah RI pulang dari Jenewa, Swiss dengan tangan hampa karena GAM meminta pertemuan diundur hingga 27 April 2003, yang ditolak pemerintah RI. Tetapi, jubir GAM di Swedia, Bachtiar Abdullah, menyatakan bahwa CoHA dengan RI masih tetap dipegang teguh oleh GAM. Meski pertemuan Dewan Bersama gagal dilakukan, pihaknya akan tetap bersedia melakukan perundingan dengan RI. (Telewicara dalam Berita Malam RCTI, 25 April 2003).
Apakah semua ini mengisyaratkan bahwa operasi militer ofensif berskala besar akan tetap dilakukan di Aceh dengan dalih menumpas GAM? Wallhu'alam. Semuanya menunggu hasil sidang Kabinet Gotong Royong di Jakarta. Tetapi, Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, Kapolri Jenderal Da'i Bahtiar dan Pangdam Iskandar Muda Mayjen Djali Yusuf telah memerintahkan Siaga I di Aceh. Sekitar 2.000 anggota marinir juga sudah disipkan KSAL untuk diterjunkan ke Aceh jika perundingan antara GAM-RI benar-benar tak dapat lagi dilakukan. Menurut pandangan penulis, pemerintah Presiden Megawati Soekarnoputi dalam menyikapi rencana operasi militer ke Aceh sebaiknya mencermati hal-hal berikut sebelum mengeluarkan keputusan maha-penting tersebut.
Korban Sipil
Pertama, kasus di Aceh bukan merupakan konflik yang telah berlarut-larut. Kendati dalam pemberontakan Permesta, PRRI, DI-TII, pemerintah Jakarta berhasil menumpas mereka dengan baik, namun tidak untuk masalah Aceh. Jika sejarah perjuangan rakyat Aceh melawan Belanda memang perlu ditelisik kembali, maka kita temui bahwa pemuda-pemudi Aceh adalah pejuang-pejuang yang sangat tangguh. Sejak Daud Beureuh memulai aksi protesnya melalui perlawanan bersenjata di tahun 1953 karena kesal dengan kebijakan pemerintah RI yang dinilainya hanya mengeruk kekayaan alam Aceh, Jakarta terus pusing dengan pemberontakan dari wilayah NKRI paling barat itu. Toh, sepeninggal Daud Beureuh, pemberontakan rakyat Aceh terus berlanjut hingga hari ini.
Kedua, siapa pun dengan mudah menyatakan bahwa ada ketidakdilan yang dilakukan di Aceh ketika minyak dan gas daerah itu diboyong ke Jakarta. Di era pemerintahan masa lalu, hasil kekayaan alam Aceh menjadi salah satu pemasok utama APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara). Sejumlah pejabat tinggi di Jakarta bisa tersenyum congkak karena koceknya penuh dengan uang. Padahal, itu diperolehnya dari hasil memeras kekayaan yang dimiliki oleh daerah-daerah di seluruh Nusantara, termasuk Aceh. Memang terasa sangat bahwa Aceh yang memiliki penghasilan migas dalam jumlah besar, pada saat yang bersamaan penduduknya justru hidup dalam kemiskinan.
Walaupun kita tentu saja patut bersyukur atas UU Otonomi Khusus No 18/2001 yang diberikan untuk rakyat Aceh, namun kita juga harus bersedih sedalam-dalamnya bahwa status khusus itu ternyata tak lebih dari sekadar 'slogan' dan 'cek kosong'. Dalam kenyataannya, Jakarta masih 'setengah hati' untuk memberikan 'hak istimewa' tersebut kepada warga Aceh. Sehingga - meminjam istilah mantan Presiden RI KH Abdurrahman Wahid - salahkah rakyat Aceh memimpikan cita-cita "merdeka"? Sekarang, operasi militer hendak digelar di bumi Rencong itu. Tetapi, Jakarta seakan-akan tak pernah mau belajar bahwa senjata memang diperlukan untuk memenangkan pertempuran, but not to win the hearts and minds (tetapi bukan untuk memenangkan hati dan pikiran) rakyat Aceh.
Ketiga, Pada tanggal 3 Desember 1976, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) resmi dibentuk di bawah kepemimpinan Teungku Hasan Di Tiro dengan tujuan mendirikan Negara Aceh Sumatra. Pemerintah Soeharto akhirnya mengirimkan beberapa batalion pasukan untuk mengatasi GAM. Bahkan, Kopassus juga diterjunkan. Pemerintah juga memberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM). Tetapi, hasilnya tetap sama: pemberlakukan DOM selama 10 tahun tak lantas mengakhiri perlawanan GAM. Tindak kekerasan selama diberlakukannya DOM di Aceh pun terus terjadi sampai Presiden Soeharto jatuh tahun 1998 dengan mengakibatkan korban nyawa tidak sedikit, baik di pihak masyarakat sipil, anggota GAM maupun anggota TNI/Polri sendiri.
Jika operasi militer dan DOM kembali diterapkan di Aceh, tidakkah Jakarta menyadari kekejaman yang dilakukan pada rezim pemerintahan masa lalu? Mengapa pemerintah Megawati tidak berkaca pada hasil operasi militer di era masa silam yang mengakibatkan ribuan korban di kalangan sipil, anggota GAM dan TNI/Polri sendiri?
Taktik Gerilya GAM
Jika perang antara TNI dan GAM tidak dapat dicegah, maka tidak saja warga Aceh yang akan merasa tersayat hatinya akibat tindak kekerasan yang semakin menjadi-jadi di bumi 'Serambi Mekah' tesebut, melainkan seluruh rakyat Indonesia. Pertempuran TNI vs GAM, apa pun dalihnya, tetap akan menimbulkan korban besar, baik di kalangan sipil maupun militer. Apalagi, konon, persenjataan yang dimiliki pasukan GAM juga tidak kalah dengan jenis kesenjataan konvensional TNI. Jika pahlawan-pahlawan Aceh seperti Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Teungku Cik Dik Tiro mampu memporak-porandakan penjajah Belanda meski dengan senjata seadanya, perlawanan GAM sekarang tidak mustahil akan menyulitkan TNI/Polri.
Di Aceh Utara, pasukan GAM memiliki ribuan pucuk senjata dari berbagai jenis. Mulai dari Kalashnikov atau AK-47 hingga peluncur roket. TNI perlu tahu bahwa GAM dilaporkan juga bisa membuat senjata sendiri. Mesin untuk pembuatnya juga kabarnya didapatkan dari "oknum TNI" sendiri yang karena demi segepok uang rela menggadaikan wibawanya sebagai penjaga negara (guardian of the state). Di minggu awal pecahnya konflik bersenjata di Aceh nantinya, TNI kemungkinan besar akan mampu menguasai medan pertempuran, tetapi setelah itu siapa dapat menjamin bahwa GAM tidak menerapkan taktik gerilya (guerrilla warfare). Andai hal ini terjadi, apakah Mabes TNI di Cilangkap sudah mempersiapkan strategi dan sistim yang ampuh untuk menghadapi strategi dan taktik gerilya pasukan GAM?
Secara pribadi, penulis memang setuju bahwa gerakan separatisme yang ingin memisahkan diri dari wilayah NKRI 'haram' hukumnya. Namun, ada satu hal yang tidak boleh dikesampingkan. Yakni, mengapa gerakan itu bisa muncul dan apa yang melatar-belakanginya? Karena injustice (ketidakadilan) atau ambition for power (ambisi kekuasaan). Jika ambisi kekuasaan adalah motifnya, maka tindakan secara militer memang satu-satunya solusi yang permanen. Tetapi, bila sebaliknya, karena ketidakadilan, maka Jakarta "wajib" hukumnya mengkaji-ulang rencana gelar kekuatan militer ke wilayah Nanggroe Aceh Darussalam. Dan, Presiden Megawati Soekarnoputri memang perlu 'menahan' keinginan untuk memberondongkan peluru ke pasukan GAM. Ini, jika Megawati memang tidak ingin mengulang sejarah.
Setengah abad yang lalu, almarhum Soekarno yang juga ayah Megawati telah menorehkan luka yang tak termaafkan oleh rakyat Aceh karena memberikan janji-janji palsu dan mengerahkan kekuatan militer untuk membungkam protes keras penduduk wilayah itu. Jadi, kita tunggu saja keputusan pemerintah Megawati. Keputusan apa pun yang akan diambil oleh Presiden Megawati: melakukan dialog yang maknanya menghindarkan pertumpahan darah atau menempuh kekerasan senjata dengan berbagai konsekuensi timbulnya kekerasan baru, masih kita tunggu. Jelasnya, 'bola salju dan bola panas' itu ada di tangannya.
Mudah-mudahan Presiden RI kelima ini tidak mengambil keputusan yang salah, apalagi fatal. Karena, bagaimana pun, penduduk Aceh yang bergabung di dalam GAM juga merupakan warga negara Republik Indonesia yang kita cintai ini. Semoga!!!
Dimuat di Harian Suara Karya
Jika begini arahnya, maka penghentian permusuhan (Cessation of Hostilities Agreement/CoHA) yang ditandatangani di Jenewa, Swiss, 9 Desember 2002 antara pemerintah RI dan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) terancam tidak memiliki arti lagi. Lebih-lebih, di satu pihak, Jakarta menuding GAM yang melanggar perjanjian damai tersebut, sementara GAM balik menuduh bahwa pemerintah RI-lah yang tidak menghormati CoHA.
Hebatnya, tokoh Muslim Indonesia semisal Nurcholish Madjid, Amin Rais dan Ahmad Syafi'i Ma'arif - yang selama ini kita dengar sebagai pendukung HAM dan selalu menginginkan sikap lunak - juga ikut-ikutan mendukung 'sikap keras' pemerintah bila GAM tetap nekad menuntut opsi merdeka. Sejauh ini, upaya kedua belah pihak untuk menuntaskan masalah secara damai sepertinya tak lagi memiliki harapan. Pun Pertemuan Joint Council (Dewan Bersama) antara GAM, RI dan Henry Dunant Center (HDC) di Jenewa pada 25 April 2003 batal dilangsungkan.
Rombongan delegasi pemerintah RI pulang dari Jenewa, Swiss dengan tangan hampa karena GAM meminta pertemuan diundur hingga 27 April 2003, yang ditolak pemerintah RI. Tetapi, jubir GAM di Swedia, Bachtiar Abdullah, menyatakan bahwa CoHA dengan RI masih tetap dipegang teguh oleh GAM. Meski pertemuan Dewan Bersama gagal dilakukan, pihaknya akan tetap bersedia melakukan perundingan dengan RI. (Telewicara dalam Berita Malam RCTI, 25 April 2003).
Apakah semua ini mengisyaratkan bahwa operasi militer ofensif berskala besar akan tetap dilakukan di Aceh dengan dalih menumpas GAM? Wallhu'alam. Semuanya menunggu hasil sidang Kabinet Gotong Royong di Jakarta. Tetapi, Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, Kapolri Jenderal Da'i Bahtiar dan Pangdam Iskandar Muda Mayjen Djali Yusuf telah memerintahkan Siaga I di Aceh. Sekitar 2.000 anggota marinir juga sudah disipkan KSAL untuk diterjunkan ke Aceh jika perundingan antara GAM-RI benar-benar tak dapat lagi dilakukan. Menurut pandangan penulis, pemerintah Presiden Megawati Soekarnoputi dalam menyikapi rencana operasi militer ke Aceh sebaiknya mencermati hal-hal berikut sebelum mengeluarkan keputusan maha-penting tersebut.
Korban Sipil
Pertama, kasus di Aceh bukan merupakan konflik yang telah berlarut-larut. Kendati dalam pemberontakan Permesta, PRRI, DI-TII, pemerintah Jakarta berhasil menumpas mereka dengan baik, namun tidak untuk masalah Aceh. Jika sejarah perjuangan rakyat Aceh melawan Belanda memang perlu ditelisik kembali, maka kita temui bahwa pemuda-pemudi Aceh adalah pejuang-pejuang yang sangat tangguh. Sejak Daud Beureuh memulai aksi protesnya melalui perlawanan bersenjata di tahun 1953 karena kesal dengan kebijakan pemerintah RI yang dinilainya hanya mengeruk kekayaan alam Aceh, Jakarta terus pusing dengan pemberontakan dari wilayah NKRI paling barat itu. Toh, sepeninggal Daud Beureuh, pemberontakan rakyat Aceh terus berlanjut hingga hari ini.
Kedua, siapa pun dengan mudah menyatakan bahwa ada ketidakdilan yang dilakukan di Aceh ketika minyak dan gas daerah itu diboyong ke Jakarta. Di era pemerintahan masa lalu, hasil kekayaan alam Aceh menjadi salah satu pemasok utama APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara). Sejumlah pejabat tinggi di Jakarta bisa tersenyum congkak karena koceknya penuh dengan uang. Padahal, itu diperolehnya dari hasil memeras kekayaan yang dimiliki oleh daerah-daerah di seluruh Nusantara, termasuk Aceh. Memang terasa sangat bahwa Aceh yang memiliki penghasilan migas dalam jumlah besar, pada saat yang bersamaan penduduknya justru hidup dalam kemiskinan.
Walaupun kita tentu saja patut bersyukur atas UU Otonomi Khusus No 18/2001 yang diberikan untuk rakyat Aceh, namun kita juga harus bersedih sedalam-dalamnya bahwa status khusus itu ternyata tak lebih dari sekadar 'slogan' dan 'cek kosong'. Dalam kenyataannya, Jakarta masih 'setengah hati' untuk memberikan 'hak istimewa' tersebut kepada warga Aceh. Sehingga - meminjam istilah mantan Presiden RI KH Abdurrahman Wahid - salahkah rakyat Aceh memimpikan cita-cita "merdeka"? Sekarang, operasi militer hendak digelar di bumi Rencong itu. Tetapi, Jakarta seakan-akan tak pernah mau belajar bahwa senjata memang diperlukan untuk memenangkan pertempuran, but not to win the hearts and minds (tetapi bukan untuk memenangkan hati dan pikiran) rakyat Aceh.
Ketiga, Pada tanggal 3 Desember 1976, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) resmi dibentuk di bawah kepemimpinan Teungku Hasan Di Tiro dengan tujuan mendirikan Negara Aceh Sumatra. Pemerintah Soeharto akhirnya mengirimkan beberapa batalion pasukan untuk mengatasi GAM. Bahkan, Kopassus juga diterjunkan. Pemerintah juga memberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM). Tetapi, hasilnya tetap sama: pemberlakukan DOM selama 10 tahun tak lantas mengakhiri perlawanan GAM. Tindak kekerasan selama diberlakukannya DOM di Aceh pun terus terjadi sampai Presiden Soeharto jatuh tahun 1998 dengan mengakibatkan korban nyawa tidak sedikit, baik di pihak masyarakat sipil, anggota GAM maupun anggota TNI/Polri sendiri.
Jika operasi militer dan DOM kembali diterapkan di Aceh, tidakkah Jakarta menyadari kekejaman yang dilakukan pada rezim pemerintahan masa lalu? Mengapa pemerintah Megawati tidak berkaca pada hasil operasi militer di era masa silam yang mengakibatkan ribuan korban di kalangan sipil, anggota GAM dan TNI/Polri sendiri?
Taktik Gerilya GAM
Jika perang antara TNI dan GAM tidak dapat dicegah, maka tidak saja warga Aceh yang akan merasa tersayat hatinya akibat tindak kekerasan yang semakin menjadi-jadi di bumi 'Serambi Mekah' tesebut, melainkan seluruh rakyat Indonesia. Pertempuran TNI vs GAM, apa pun dalihnya, tetap akan menimbulkan korban besar, baik di kalangan sipil maupun militer. Apalagi, konon, persenjataan yang dimiliki pasukan GAM juga tidak kalah dengan jenis kesenjataan konvensional TNI. Jika pahlawan-pahlawan Aceh seperti Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Teungku Cik Dik Tiro mampu memporak-porandakan penjajah Belanda meski dengan senjata seadanya, perlawanan GAM sekarang tidak mustahil akan menyulitkan TNI/Polri.
Di Aceh Utara, pasukan GAM memiliki ribuan pucuk senjata dari berbagai jenis. Mulai dari Kalashnikov atau AK-47 hingga peluncur roket. TNI perlu tahu bahwa GAM dilaporkan juga bisa membuat senjata sendiri. Mesin untuk pembuatnya juga kabarnya didapatkan dari "oknum TNI" sendiri yang karena demi segepok uang rela menggadaikan wibawanya sebagai penjaga negara (guardian of the state). Di minggu awal pecahnya konflik bersenjata di Aceh nantinya, TNI kemungkinan besar akan mampu menguasai medan pertempuran, tetapi setelah itu siapa dapat menjamin bahwa GAM tidak menerapkan taktik gerilya (guerrilla warfare). Andai hal ini terjadi, apakah Mabes TNI di Cilangkap sudah mempersiapkan strategi dan sistim yang ampuh untuk menghadapi strategi dan taktik gerilya pasukan GAM?
Secara pribadi, penulis memang setuju bahwa gerakan separatisme yang ingin memisahkan diri dari wilayah NKRI 'haram' hukumnya. Namun, ada satu hal yang tidak boleh dikesampingkan. Yakni, mengapa gerakan itu bisa muncul dan apa yang melatar-belakanginya? Karena injustice (ketidakadilan) atau ambition for power (ambisi kekuasaan). Jika ambisi kekuasaan adalah motifnya, maka tindakan secara militer memang satu-satunya solusi yang permanen. Tetapi, bila sebaliknya, karena ketidakadilan, maka Jakarta "wajib" hukumnya mengkaji-ulang rencana gelar kekuatan militer ke wilayah Nanggroe Aceh Darussalam. Dan, Presiden Megawati Soekarnoputri memang perlu 'menahan' keinginan untuk memberondongkan peluru ke pasukan GAM. Ini, jika Megawati memang tidak ingin mengulang sejarah.
Setengah abad yang lalu, almarhum Soekarno yang juga ayah Megawati telah menorehkan luka yang tak termaafkan oleh rakyat Aceh karena memberikan janji-janji palsu dan mengerahkan kekuatan militer untuk membungkam protes keras penduduk wilayah itu. Jadi, kita tunggu saja keputusan pemerintah Megawati. Keputusan apa pun yang akan diambil oleh Presiden Megawati: melakukan dialog yang maknanya menghindarkan pertumpahan darah atau menempuh kekerasan senjata dengan berbagai konsekuensi timbulnya kekerasan baru, masih kita tunggu. Jelasnya, 'bola salju dan bola panas' itu ada di tangannya.
Mudah-mudahan Presiden RI kelima ini tidak mengambil keputusan yang salah, apalagi fatal. Karena, bagaimana pun, penduduk Aceh yang bergabung di dalam GAM juga merupakan warga negara Republik Indonesia yang kita cintai ini. Semoga!!!
Dimuat di Harian Suara Karya
0 comments:
Post a Comment