Google
 

Tuesday, March 20, 2007

Polisi Tembak Polisi: Apa yang Salah?

Saat pelbagai musibah melanda Tanah Air, masyarakat disuguhi tragedi penembakan seorang perwira menengah polisi di Polwiltabes Semarang, Jawa Tengah. Ironisnya, AKBP Liliek Purwanto, yang tak lain adalah Wakapolwiltabes Semarang, meregang nyawa di tangan anak buahnya sendiri: Briptu Hance Jim Kristianto (Republika, 16/3).

Kita tentu masygul jika sesama aparat baku tembak. Belum pupus dari ingatan bagaimana oknum TNI dan oknum polisi adu senjata di Papua Februari lalu. Di awal tahun 2007 ini, sedikitnya telah terjadi tiga kali insiden yang mencoreng wajah kepolisian. Intinya, polisi begitu mudah menyalakkan senjatanya. Pertama, Iptu Oloan Hutasoait, misalnya, menembak mati sepasang pengantin baru di tengah keramaian pameran pada 24 Januari 2007. Anggota Poltabes Medan itu, yang memuntahkan timah panas karena patah hati, akhirnya bunuh diri.

Kedua, Briptu Rifai menghabisi nyawa istri dan ibu mertuanya pada 8 Maret 2007. Anggota Polres Bangkalan, Madura, ini kemudian menembak dirinya sendiri sampai tewas. Ketiga, Briptu Hance Jim Kristianto membidik dada atasannya seusai apel pagi. Peluru yang ditembakkan Briptu Hance membuat Wakapolwitabes Semarang itu terkapar tak bernyawa. Hance pun bersimbah darah diberondong satuan gabungan Tim Gegana dan Densus-88 Polda Semarang karena bersikeras tidak mau menyerah. Sangat disesalkan tentunya jika seorang polisi tidak mampu mengerem emosinya. Meski Iptu Oloan menembak karena cintanya bertepuk sebelah tangan, Briptu Rifai mengumbar mesiu bersebab api cemburu dan Briptu Hance menarik pelatuk pistolnya akibat kecewa dimutasi oleh atasannya, kesimpulannya tetap sama: polisi seolah berhak menembak siapapun. Mengacu dan terlepas dari ketiga peristiwa tersebut, ada empat hal penting yang harus mulai diperhatikan oleh para petinggi Polri.

Langkah pembenahan


Pertama, memperketat psikotes dan tes mental hak memegang senjata api (senpi). Apa yang ditegaskan Kapolri Jenderal Sutanto bahwa semua anggota polisi wajib menjalani tes ulang hak memegang senpi secepatnya ditindaklanjuti (Liputan 6 SCTV, 14/3). Para personel polisi yang memegang pelbagai jenis senjata diharuskan melakukan rephysiological test. Sehingga, para anggota yang gagal tes tidak diberikan hak memegang senjata api guna menghindari penyalahgunaan pemakaian.

Kedua, komunikasi aktif atasan-bawahan. Pemerintahan era Presiden Abdurrahman Wahid memang sukses menggagas pemisahan TNI-Polri. Tepat di tahun 2002, pemerintah Presiden Megawati mengeluarkan keputusan 'perceraian' TNI-Polri. Penulis sepakat dengan mantan gubernur PTIK, Farook Muhammad bahwa di era pascaorde baru ini, jajaran komandan di kepolisian seharusnya tidak lagi terbiasa menganggap bawahannya sebagai prajurit yang hanya bisa diperintah tanpa diajak berkomunikasi. Sehingga, kasus kekecewaan Briptu Hance terhadap atasannya di Polwiltabes Semarang tersebut tidak terulang.

Ketiga, jeda hak menggunakan senjata api. Mengingat di Indonesia polisi kerap ditugaskan di wilayah-wilayah konflik, baik itu di Aceh, Poso, Ambon dan lain sebagainya, maka kepala Polri perlu membuat keputusan bijaksana. Keputusan itu adalah 'meliburkan sementara' para anggota polisi yang baru selesai bertugas dari daerah konflik agar tidak membawa senjata. Hal ini sangat penting dilakukan demi menghindari penggunaan senjata di luar kendali. Karena, dapat dimaklumi bahwa tekanan emosi yang baru usai dinas di wilayah rawan biasanya bervolume tinggi akibat ketegangan dan rasa lelah selama tugas.

Keempat, melindungi bawahan. Sudah saatnya para pimpinan di kepolisian, baik di tingkat atas maupun di tingkat bawah bertanggung jawab penuh atas tindakan yang dilakukan oleh para bawahan. Tentunya tanggung jawab diberikan selama bawahan memang taat, patuh dan menjalankan tugasnya di lapangan sesuai prosedur hukum yang berlaku. Pimpinan tidak boleh `mengkambinghitamkan' bawahan demi menyelamatkan dirinya sendiri.

Polisi tidak boleh meniru kasus pembantaian Santra Cruz di Dili, Timor Timur (1992) ataupun Trisakti dan Semanggi (1998) ketika bawahan dan hanya komandan di lapangan yang dijadikan 'tumbal'. Bawahan layak dipersalahkan di hadapan hukum jika perintah atasan dan prosedur hukum memang dilanggar. Sejumlah personel polisi yang penulis didik mengeluhkan situasi dilematis ini: menahan kokangan senjata dengan resiko sanksi dari atasan atau menembak dengan resiko dipersalahkan Komnas HAM/LSM sementara komandan tiarap.

Untuk memperbaiki citra polisi yang kadang cenderung kurang disukai masyarakat, pembenahan internal Polri menjadi sangat mendesak. Selain itu, kepala Polri, paling tidak, harus menginstruksikan seluruh jajarannya agar para anggotanya menampilkan keramahtamahan, bukan menyapa masyarakat dengan raut menakutkan. Polisi bisa meniru kegiatan yang TNI terapkan seperti bakti sosial.

Anggota Polri yang menjadi Polantas sebaiknya tidak asal main tilang atau menghentikan para pengendara sepeda motor maupun mobil hanya demi beberapa lembar uang, bukan atas nama mengatur kelancaran lalu lintas. Justru, razia yang dilakukan oleh polisi saat ini --dalam hemat penulis-- seyogianya lebih difokuskan pada operasi penggeledahan senjata api atau senjata tajam ketimbang STNK dan SIM. Ini, jika kita masih sadar bahwa senjata api ataupun senjata tajam sudah begitu lumrah menyebar untuk aksi kejahatan.

Bila operasi ini diberlakukan secara rutin, diharapkan penyebaran berbagai jenis senjata secara illegal bisa diminimalkan. Perlahan-lahan citra polisi pun akan semakin membaik karena dinilai bisa menjadi pengayom masyarakat sekaligus penegak hukum dalam arti sesungguhnya. Tetapi, jika para petinggi Polri tetap enggan berbenah, maka ketidakpuasan masyarakat terhadap kepolisian seperti sekarang ini akan makin sulit dipulihkan.

( )

0 comments: