Google
 

Saturday, September 4, 2010

Konflik RI -Malaysia: Salah Paham?

Penahanan tiga petugas Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) RI oleh Polisi Diraja Malaysia telah secara nyata menjadi isu paling panas. Yang menyedihkan, kasus ini terjadi di bulan suci Ramadan pula. Tanggal 13 Agustus 2010 menjadi saksi sejarah dimana Indonesia maupun Malaysia terlibat perselisihan ikhwal batas laut: RI mengklaim nelayan Malaysia menangkap illegal di perairan Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), sedangkan Malaysia ngotot bahwa petugas DKP yang justru membuat ulah. Padahal, kedua negara di bulan Agustus kemarin sama-sama memperingati HUT masing – masing. Kita lega karena janji Dubes Malaysia yang baru bertugas tujuh bulan di Indonesia, Datuk Syed Munshe Afzaruddin Syed Hassan telah ditepati dengan melepas ketiga petugas DKP yang dibawa ke pelabuhan Johor oleh Polisi Air Diraja Malaysia jelang HUT RI ke-65.

Sumber Konflik Indonesia-Malaysia Serangkaian kasus yang terjadi (dari Perseteruan Ambalat hingga saling tangkap di perbatasan Johor – Kepri) tak dimungkiri hanyalah menambah deretan panjang ketidakharmonisan hubungan bilateral Kuala Lumpur – Jakarta. Kita bersyukur bahwa sampai saat ini relasi kedua negara masih tetap bisa dipertahankan, meski banyak upaya mesti dilakukan agar hubungan Jakarta – Kuala Lumpur tidak semakin memburuk. Dalam hemat penulis, ada sedikitnya 3 (tiga) masalah besar yang menjadi sumber konflik dan hambatan serius bagi relasi Indonesia-Malaysia. Pertama, soal TKI. Siapapun tahu bahwa upah kerja di Malaysia lebih tinggi. Tidak heran jika banyak warga negara Indonesia yang mengadu nasib sebagai TKI. Jumlah TKI di Malaysia diperkirakan mencapai 1,5 hingga 2 juta. Yang tercatat resmi sekitar 1,5 juta. Yang heboh, jumlah ini ternyata setara dengan hampir 8 persen jumlah penduduk Malaysia. Keluhan yang sering terdengar di kalangan rakyat Malaysia adalah TKI yang pria sering terlibat dalam aksi-aksi kriminalitas di negeri mereka. Dalam soal TKI, pemerintah Indonesia wajib melobi pemerintah dan departemen terkait di Malaysia untuk memberikan proteksi tambahan kepada para TKI. Toh, pemerintah RI sendiri memang belum mampu menciptakan lapangan kerja yang memadai. Malaysia adalah satu – satunya negara di Asia Tenggara yang berkenan menerima TKI dalam jumlah banyak dibandingkan Singapura atau Filipina.Tentu, Jakarta perlu merenungi betapa repotnya Malaysia mengurus ratusan ribu TKI ilegal. Kendati pemerintah Malaysia tentunya perlu berterima kasih karena berbagai gedung tinggi dan megah tak lain merupakan hasil karya warga Indonesia. Artinya, seperti dinyatakan Dubes Malaysia untuk Indonesia kepada Penulis dalam jamuan Idul Fitri tahun 2007 lalu, Dato’ Zainal Abidin Bin Zain, baik Malaysia maupun Indonesia saling membutuhkan satu sama lain. Menurutnya, jika ekonomi Indonesia terus membaik, maka Malaysia juga diuntungkan dalam hal kerjasama ekonomi, teknologi, dan pendidikan.

Kedua, territorial overlapping claims (tumpang-tindih klaim perbatasan). Soal perbatasan hampir membuat Indonesia dan Malaysia adu tembak. Gara-gara sengketa pulau Sipadan-Ligitan yang diklaim Indonesia adalah miliknya pada tahun 2002, relasi Jakarta-Kuala Lumpur sempat hambar. Mahkamah Internasional di Den Haag memenangkan Malaysia karena di pulau Sipadan-Ligitan secara de facto digunakan bahasa, kultur, dan mata uang Malaysia. Akhirnya, secara de jure pun Malaysia dinobatkan sebagai pemilik kedua pulau tersebut. Setelah itu, hubungan Indonesia-Malaysia sangat memanas akibat soal Ambalat (Pebruari 2005). Semua kekuatan militer Indonesia dipusatkan di Kalimantan dan Sulawesi, dua wilayah yang berdekatan dengan Ambalat. Baik militer Indonesia maupun Malaysia tampak siap mengokang senjata masing-masing. Untungnya, pemimpin kedua negara tetap berkepala dingin dan berlaku bijaksana. Melalui jalur diplomatik, masalah Ambalat selesai secara damai meski aksi demo menentang Malaysia di seluruh wilayah NKRI seakan tak pernah berhenti waktu itu.

Ketiga, illegal logging atau pembalakan liar. Drama penggundulan hutan di Indonesia sudah lama dipentaskan. Namun, kapan para sutradara dan pemainnya akan dihukum seberat-beratnya tetap menunggu “keberanian” para penegak hukum: Polri, Jaksa, Hakim. Ahli ekonomi kehutanan dari DFID (Department for International Development), Inggris, David W Brown, Indonesia dirugikan sebesar US$ 5,7 miliar (Rp 54,75 triliun) per tahun akibat illegal logging. Yang gawat, sudah 70 % hutan perawan di tanah air dikabarkan telah amblas: dijarah, ditebang, dibakar, digunduli atau dialihfungsikan. Ratusan ribu hektar hutan di negeri ini ditebang secara ilegal tanpa ada aksi hukum yang layak diacungi jempol. Berbagai jenis kayu berkualitas dan berharga sangat mahal begitu leluasa dikirim ke Malaysia baik melalui jalur laut seperti di Papua, Jambi dan Riau atau jalur darat seperti di Kalimantan. Salahkah pengusaha Malaysia? Jangan mencaci pembeli, tetapi penjual. Jika aparat keamanan NKRI, baik yang di laut maupun di darat, berjiwa nasionalis dan “steril” dari godaan suap, maka tidak akan pernah ada kayu dari hutan Indonesia dikirim ke negara lain secara ilegal.

Prospek Relasi Harmonis Selama ini, ketiga masalah besar itulah yang menjadi hambatan paling serius dan sumber konflik dalam meningkatkan hubungan bilateral Malaysia-Indonesia. Masing-masing pihak tampak kerap terjebak dalam pelbagai “misunderstandings” atau kesalahpahaman. Celakanya, beberapa kasus yang mencuat di Malaysia sepertinya dijadikan sebagai “komoditas politik” yang diperjual-belikan oleh sebagian elite di tanah air, juga di Malaysia tentunya. Secara serius, sejumlah pejabat Malaysia menyatakan kepada penulis keinginan mereka agar Indonesia menjadi negara sejahtera dan stabil. Apalagi, Malaysia sangat berkepentingan dengan kerjasama ekonomi terhadap Indonesia. Selain itu, seperti diungkapkan Atase Pendidikan Kedubes Malaysia di Jakarta, Datuk Dr. Junaidy Abu Bakar, kepada penulis via sambungan seluler internasional, ribuan mahasiswa Indonesia diberi beasiswa untuk belajar di Malaysia dengan harapan mereka nantinya dapat menjadi fasilitator terbinanya hubungan baik Jakarta – Kuala Lumpur demi kemaslahatan kedua negara bertetangga tersebut (20/8/10).

Menyikapi masalah-masalah tadi dan dalam rangka menciptakan relasi harmonis negara bertetangga (good neighbourly relationship), baik Malaysia maupun Indonesia harus melakukan 3 hal penting. Pertama; semua masalah diatas harus mulai dibahas secara serius dan tuntas. Membiarkan semua persoalan tersebut sama artinya dengan membuka celah bagi kedua negara untuk kembali bermusuhan. Kedua; kedua pihak harus mendepankan dialog dan menghindari cara-cara kekerasan seperti saling ancam menggunakan kekuatan militer, dan. Ketiga; penyelesaian perlu dengan cara pendekatan budaya (cultural approach) mengingat kedua negara masih serumpun dengan leluhur yang tidak jauh berbeda. Arah menjalin hubungan baik Indonesia-Malaysia sebenarnya mulai dibangun secara gradual. Kita sebagai masyarakat pastilah mendambakan hubungan antar negara yang berbasis pada saling menghargai dan menghormati. Ini, jika konflik dan saling provokasi memang hendak dikafani dalam arti yang sesungguhnya oleh kedua belah pihak. Semoga! **

pontianakpost.com

link: http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=38575