Yang menghebohkan, seperti disiarkan pelbagai stasiun televisi lokal pada Minggu, 13 Januari 2008, Ketua Tim Dokter Kepresidenan Mardjo Soebandiono memberikan keterangan pers bahwa kondisi Soeharto sudah pada level 50:50. Artinya, kesehatan Soeharto sangat kritis. Terlebih, Mardjo hanya menyebut otak dan pencernaan Soeharto yang masih berfungsi normal. Tidak berlebihan bila pemakaman untuk Soeharto di Kompleks Astana Giribangun, Karanganyar, Jawa Tengah, jika kemungkinan meninggal dunia, sudah disiapkan. Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sampai mempersingkat kunjungannya ke Malaysia dan Wapres Jusuf Kalla membatalkan kunjungannya ke Pekanbaru, Riau (12 Januari 2008) untuk membuka Silaknas ICMI. Untaian doa pun beramai-ramai ditujukan kepada Soeharto. Syukurnya, sampai tulisan ini dibuat, kesehatan Soeharto lumayan membaik.
Tak Perlu Berlarut-larut
Di tengah kritisnya kesehatan Soeharto, masalah muncul. Salah satu partai politik meminta Presiden SBY mempetieskan proses hukum atas Soeharto (deponering). Jaksa Agung Hendarman Supandji malah berkilah, kasus Soeharto berkaitan soal pidana dianggap selesai dengan keluarnya Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan Perkara (SKPPP) tertanggal 12 Mei 2006, sesuai KUHP Pasal 140 Ayat 2, karena sakit permanen. Hendarman hanya menegaskan, kasus perdata Soeharto yang bisa dilanjutkan (Riau Mandiri, 7 Januari 2008).
Tentu saja banyak pihak yang merasa gerah. Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid, misalnya, menyatakan bahwa proses hukum atas diri Soeharto tidak bisa ditiadakan karena telah menjadi amanat TAP MPR No XI/1998 tentang pemberantasan KKN tanpa pandang bulu (Riau Mandiri, 10 Januari 2008). Senada dengan Ketua MPR adalah Direktur LBH Jakarta Asfinawati dan Ketua Komisi III DPR RI Trimedya Panjaitan.
Polemik ini mestinya tak perlu berlarut-larut. Toh, Soeharto sendiri jauh-jauh hari, seperti dinyatakan Probosutedjo yang tak lain adalah adiknya, mengatakan siap diadili (Sindo, 7 Januari 2008). Termasuk disesalkan di sini tentunya adalah keputusan Silaknas ICMI di Pekanbaru, Riau tertanggal 13 Januari 2008 yang “gegabah” mengampuni Soeharto.
Lalu, pertanyaan besar yang muncul adalah mengapa selama ini para penegak hukum justru tampak enggan memproses kasus hukum Soeharto? Entahlah. Penulis kerap membahasnya di pelbagai kesempatan, baik dalam kuliah-kuliah di sejumlah kampus maupun dalam seminar, termasuk di buku berjudul "Gelisah di Rantau (Anxiety While Abroad)", terbit di Islamabad pada Mei 2005, bahwa Soeharto mestilah diberikan kepastian hukum. Ini agar beliau tidak selalu dihujat selama hidup atau setelah tiada. Jika faktor kemanusiaan dan kondisi kritis yang selama ini dijadikan alasan oleh Presiden SBY dan jajarannya atau kalangan lain untuk memaafkan Soeharto, tak jadi soal. Tetapi, jika masalah hukum yang hendak dipermainkan, maka tak diragukan lagi bahwa keadilan telah benar-benar dikafani sekaligus dimakamkan di negeri ini. Dalam istilah hukum, kita mengenal konsep none is above the law (tidak ada orang yang kebal hukum). Siapa pun dia, lower-class (rakyat kecil) atau pun upper-class (kalangan elite), memiliki status yang sama dan tidak boleh dianaktirikan.
Dalam Islam, hukum juga tak mengenal pembedaan. Rasulullah SAW bersabda, “Sekiranya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya.” Begitu tingginya nilai keadilan dijunjung oleh seorang Nabi sekali pun.
Sejujurnya, penulis dari dulu sangat tidak setuju jika Soeharto tidak dituntaskan kasus hukumnya. Pengampunan atau apa pun istilahnya, tanpa proses pengadilan sulit diterima. Jika kasus Soeharto diendapkan sebelum proses peradilan selesai digelar, bukan mustahil akan menjadi preseden buruk di masa mendatang. Para pemimpin kita pun bisa saja bersikap semena-mena, bengis, kejam, dan brutal selama berkuasa. Mereka tidak perlu khawatir karena pada saatnya toh akan diampuni.
Bukan Keputusan Politik
Jika kehidupan masih berpihak pada Soeharto, maka kasus hukumnya wajib dilanjutkan. Jika mantan orang terkuat di Asia Tenggara ini terbukti bersalah, maka Presiden SBY bisa menggunakan kewenangannya memberikan grasi. Apalagi, jasa yang bersangkutan terhadap negeri ini sangat besar. Tetapi, jika Soeharto tidak terbukti kesalahannya, maka namanya harus segera dibersihkan agar tidak menjadi bagian hitam dari lembaran sejarah bangsa.
Ketua Fraksi PDI Perjuangan di DPR RI Tjahjo Kumolo, menawarkan amnesti buat Soeharto (Republika, 7 Januari 2008). Namun, istilah amnesti jangan digunakan untuk Soeharto, karena mengandung arti bahwa penerimanya adalah seorang pemberontak. Oleh karenanya, Soeharto harus diberikan keputusan hukum, bukannya keputusan politik.
Tidak mudah melanjutkan proses hukum Soeharto, memang. Tanggapan yang muncul beragam. Pertama, luapan kegembiraan. Kalangan ini adalah orang-orang yang merasa bahagia dengan tegaknya tiang keadilan. Termasuk di dalam kalangan ini barangkali sejumlah orang yang dulu pernah mengalami kekejaman rezim Soeharto, atau pun mereka yang anggota keluarganya dizalimi oleh pemerintah Orba. Kalangan ini sulit melupakan begitu saja kasus Tanjung Priok, Malari, Tragedi Lampung, termasuk Operasi Naga Hijau dan Naga Merah. Citra Indonesia di mata internasional pun makin positif dengan bukti penegakan hukum yang tidak pilih kasih.
Kedua, luapan tangis kesedihan. Kalangan ini merupakan orang-orang yang dulu pernah menikmati “kue kekuasaan” di zaman Orba. Mereka bersedih karena Soeharto dimejahijaukan tanpa mereka mampu mencegah atau membantunya.
Ketiga, luapan tangis haru. Mereka ini adalah kalangan yang tidak mengerti atas dasar apa Soeharto, sosok yang sudah lanjut usia, dibawa ke pengadilan. Bagi mereka, orang tua renta seperti Soeharto tidak layak diseret ke pengadilan. Rasa kemanusiaan dan kasihan yang begitu tinggi menjadi alasan kuat bagi orang-orang ini untuk merasa terharu.
Keempat, ekspresi ketidaksetujuan atas dasar kebijaksanaan. Meskipun pernah mengalami kezaliman di era Orba dan tidak pula menjadi kroni Soeharto, kalangan ini seolah tidak setuju jika Soeharto dihukum. Bagi mereka, orang-orang yang pernah mengatasnamakan pemerintah Orba untuk kepentingan diri sendiri atau golongan itulah yang seharusnya ditindak tegas.
Kira-kira, setelah melihat reaksi yang berbeda-beda tadi, Anda berada di pihak yang mana? Bagi penulis, di kelompok mana pun Anda menjatuhkan pilihan, tidak ada masalah. Hanya, proses hukum Soeharto, jika nantinya memang masih diberikan “nikmat kehidupan” oleh Yang Maha Kuasa dan keluar dari RSPP, sebaiknya tetap diteruskan.
Beban Sejarah
Mengutip mantan Ketua MPR RI, Amien Rais, jika kasus Soeharto tidak selesai secara hukum, maka hal ini akan menjadi beban sejarah. Nama Soeharto dipulihkan bila terbukti tidak bersalah. Kalau pun ternyata bersalah, maka seyogianya Soeharto diberi “grasi nasional”. Pengampunan oleh eksekutif maupun legislatif tidaklah cukup tanpa menyertakan rakyat.
Penulis yakin dan percaya bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang pemaaf. Karena, untuk dapat menjadi sebuah bangsa yang besar, pastilah diperlukan jiwa luhur, termasuk memaafkan dosa para pemimpinnya.
Upaya medis yang saat ini diberikan kepada Soeharto secara maksimal sudah tepat. Sebab, kita juga tak mau mengulangi kesalahan ketika almarhum Presiden Soekarno tidak memperoleh pengobatan yang layak, sehingga perumus Pancasila ini wafat pada 21 Juni 1970.
Walhasil, mengadili atau mengampuni Soeharto telah benar-benar menjadi isu besar, dan pastinya diperdebatkan oleh hampir semua kalangan, utamanya para pakar hukum dan elit politik. Kita doakan semoga pemimpin tangan besi (iron-fisted ruler) di era Orba ini mampu bertahan hidup sampai proses hukum atas dirinya selesai dan tidak perlu menjadi polemik yang tak berkesudahan saat malaikat maut menjemputnya. Wallahu’alam Bisshowab.
Penulis adalah putra kelahiran Selat Panjang, Kab. Bengkalis alumnus Fakultas Hukum International Islamic University (IIU) Islamabad, Pakistan, dan pengajar pada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Jakarta.(Abdul Halim Mahally)