Google
 

Monday, January 21, 2008

Mengadili atau Mengampuni Soeharto?

Berita kritisnya kondisi kesehatan mantan presiden Soeharto menjadi breaking news di media massa Tanah Air maupun internasional. Pemegang tampuk kekuasaan di Indonesia selama 32 tahun pada era Orde Baru (Orba) ini terbaring lemah di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) sejak 4 Januari 2008 lalu. Soeharto memang masih memiliki kharisma. Buktinya, banyak kalangan di negeri ini yang membesuknya. Mulai dari pejabat tinggi sipil dan militer yang masih aktif hingga yang telah purna tugas. Sejumlah purnawirawan jenderal juga ikut menjenguk; Try Sutrisno, Wismoyo Arismunandar, Wiranto, dan Prabowo Subianto.

Yang menghebohkan, seperti disiarkan pelbagai stasiun televisi lokal pada Minggu, 13 Januari 2008, Ketua Tim Dokter Kepresidenan Mardjo Soebandiono memberikan keterangan pers bahwa kondisi Soeharto sudah pada level 50:50. Artinya, kesehatan Soeharto sangat kritis. Terlebih, Mardjo hanya menyebut otak dan pencernaan Soeharto yang masih berfungsi normal. Tidak berlebihan bila pemakaman untuk Soeharto di Kompleks Astana Giribangun, Karanganyar, Jawa Tengah, jika kemungkinan meninggal dunia, sudah disiapkan. Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sampai mempersingkat kunjungannya ke Malaysia dan Wapres Jusuf Kalla membatalkan kunjungannya ke Pekanbaru, Riau (12 Januari 2008) untuk membuka Silaknas ICMI. Untaian doa pun beramai-ramai ditujukan kepada Soeharto. Syukurnya, sampai tulisan ini dibuat, kesehatan Soeharto lumayan membaik.

Tak Perlu Berlarut-larut
Di tengah kritisnya kesehatan Soeharto, masalah muncul. Salah satu partai politik meminta Presiden SBY mempetieskan proses hukum atas Soeharto (deponering). Jaksa Agung Hendarman Supandji malah berkilah, kasus Soeharto berkaitan soal pidana dianggap selesai dengan keluarnya Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan Perkara (SKPPP) tertanggal 12 Mei 2006, sesuai KUHP Pasal 140 Ayat 2, karena sakit permanen. Hendarman hanya menegaskan, kasus perdata Soeharto yang bisa dilanjutkan (Riau Mandiri, 7 Januari 2008).

Tentu saja banyak pihak yang merasa gerah. Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid, misalnya, menyatakan bahwa proses hukum atas diri Soeharto tidak bisa ditiadakan karena telah menjadi amanat TAP MPR No XI/1998 tentang pemberantasan KKN tanpa pandang bulu (Riau Mandiri, 10 Januari 2008). Senada dengan Ketua MPR adalah Direktur LBH Jakarta Asfinawati dan Ketua Komisi III DPR RI Trimedya Panjaitan.

Polemik ini mestinya tak perlu berlarut-larut. Toh, Soeharto sendiri jauh-jauh hari, seperti dinyatakan Probosutedjo yang tak lain adalah adiknya, mengatakan siap diadili (Sindo, 7 Januari 2008). Termasuk disesalkan di sini tentunya adalah keputusan Silaknas ICMI di Pekanbaru, Riau tertanggal 13 Januari 2008 yang “gegabah” mengampuni Soeharto.

Lalu, pertanyaan besar yang muncul adalah mengapa selama ini para penegak hukum justru tampak enggan memproses kasus hukum Soeharto? Entahlah. Penulis kerap membahasnya di pelbagai kesempatan, baik dalam kuliah-kuliah di sejumlah kampus maupun dalam seminar, termasuk di buku berjudul "Gelisah di Rantau (Anxiety While Abroad)", terbit di Islamabad pada Mei 2005, bahwa Soeharto mestilah diberikan kepastian hukum. Ini agar beliau tidak selalu dihujat selama hidup atau setelah tiada. Jika faktor kemanusiaan dan kondisi kritis yang selama ini dijadikan alasan oleh Presiden SBY dan jajarannya atau kalangan lain untuk memaafkan Soeharto, tak jadi soal. Tetapi, jika masalah hukum yang hendak dipermainkan, maka tak diragukan lagi bahwa keadilan telah benar-benar dikafani sekaligus dimakamkan di negeri ini. Dalam istilah hukum, kita mengenal konsep none is above the law (tidak ada orang yang kebal hukum). Siapa pun dia, lower-class (rakyat kecil) atau pun upper-class (kalangan elite), memiliki status yang sama dan tidak boleh dianaktirikan.

Dalam Islam, hukum juga tak mengenal pembedaan. Rasulullah SAW bersabda, “Sekiranya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya.” Begitu tingginya nilai keadilan dijunjung oleh seorang Nabi sekali pun.

Sejujurnya, penulis dari dulu sangat tidak setuju jika Soeharto tidak dituntaskan kasus hukumnya. Pengampunan atau apa pun istilahnya, tanpa proses pengadilan sulit diterima. Jika kasus Soeharto diendapkan sebelum proses peradilan selesai digelar, bukan mustahil akan menjadi preseden buruk di masa mendatang. Para pemimpin kita pun bisa saja bersikap semena-mena, bengis, kejam, dan brutal selama berkuasa. Mereka tidak perlu khawatir karena pada saatnya toh akan diampuni.

Bukan Keputusan Politik
Jika kehidupan masih berpihak pada Soeharto, maka kasus hukumnya wajib dilanjutkan. Jika mantan orang terkuat di Asia Tenggara ini terbukti bersalah, maka Presiden SBY bisa menggunakan kewenangannya memberikan grasi. Apalagi, jasa yang bersangkutan terhadap negeri ini sangat besar. Tetapi, jika Soeharto tidak terbukti kesalahannya, maka namanya harus segera dibersihkan agar tidak menjadi bagian hitam dari lembaran sejarah bangsa.

Ketua Fraksi PDI Perjuangan di DPR RI Tjahjo Kumolo, menawarkan amnesti buat Soeharto (Republika, 7 Januari 2008). Namun, istilah amnesti jangan digunakan untuk Soeharto, karena mengandung arti bahwa penerimanya adalah seorang pemberontak. Oleh karenanya, Soeharto harus diberikan keputusan hukum, bukannya keputusan politik.

Tidak mudah melanjutkan proses hukum Soeharto, memang. Tanggapan yang muncul beragam. Pertama, luapan kegembiraan. Kalangan ini adalah orang-orang yang merasa bahagia dengan tegaknya tiang keadilan. Termasuk di dalam kalangan ini barangkali sejumlah orang yang dulu pernah mengalami kekejaman rezim Soeharto, atau pun mereka yang anggota keluarganya dizalimi oleh pemerintah Orba. Kalangan ini sulit melupakan begitu saja kasus Tanjung Priok, Malari, Tragedi Lampung, termasuk Operasi Naga Hijau dan Naga Merah. Citra Indonesia di mata internasional pun makin positif dengan bukti penegakan hukum yang tidak pilih kasih.

Kedua, luapan tangis kesedihan. Kalangan ini merupakan orang-orang yang dulu pernah menikmati “kue kekuasaan” di zaman Orba. Mereka bersedih karena Soeharto dimejahijaukan tanpa mereka mampu mencegah atau membantunya.

Ketiga, luapan tangis haru. Mereka ini adalah kalangan yang tidak mengerti atas dasar apa Soeharto, sosok yang sudah lanjut usia, dibawa ke pengadilan. Bagi mereka, orang tua renta seperti Soeharto tidak layak diseret ke pengadilan. Rasa kemanusiaan dan kasihan yang begitu tinggi menjadi alasan kuat bagi orang-orang ini untuk merasa terharu.

Keempat, ekspresi ketidaksetujuan atas dasar kebijaksanaan. Meskipun pernah mengalami kezaliman di era Orba dan tidak pula menjadi kroni Soeharto, kalangan ini seolah tidak setuju jika Soeharto dihukum. Bagi mereka, orang-orang yang pernah mengatasnamakan pemerintah Orba untuk kepentingan diri sendiri atau golongan itulah yang seharusnya ditindak tegas.

Kira-kira, setelah melihat reaksi yang berbeda-beda tadi, Anda berada di pihak yang mana? Bagi penulis, di kelompok mana pun Anda menjatuhkan pilihan, tidak ada masalah. Hanya, proses hukum Soeharto, jika nantinya memang masih diberikan “nikmat kehidupan” oleh Yang Maha Kuasa dan keluar dari RSPP, sebaiknya tetap diteruskan.

Beban Sejarah
Mengutip mantan Ketua MPR RI, Amien Rais, jika kasus Soeharto tidak selesai secara hukum, maka hal ini akan menjadi beban sejarah. Nama Soeharto dipulihkan bila terbukti tidak bersalah. Kalau pun ternyata bersalah, maka seyogianya Soeharto diberi “grasi nasional”. Pengampunan oleh eksekutif maupun legislatif tidaklah cukup tanpa menyertakan rakyat.

Penulis yakin dan percaya bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang pemaaf. Karena, untuk dapat menjadi sebuah bangsa yang besar, pastilah diperlukan jiwa luhur, termasuk memaafkan dosa para pemimpinnya.

Upaya medis yang saat ini diberikan kepada Soeharto secara maksimal sudah tepat. Sebab, kita juga tak mau mengulangi kesalahan ketika almarhum Presiden Soekarno tidak memperoleh pengobatan yang layak, sehingga perumus Pancasila ini wafat pada 21 Juni 1970.

Walhasil, mengadili atau mengampuni Soeharto telah benar-benar menjadi isu besar, dan pastinya diperdebatkan oleh hampir semua kalangan, utamanya para pakar hukum dan elit politik. Kita doakan semoga pemimpin tangan besi (iron-fisted ruler) di era Orba ini mampu bertahan hidup sampai proses hukum atas dirinya selesai dan tidak perlu menjadi polemik yang tak berkesudahan saat malaikat maut menjemputnya. Wallahu’alam Bisshowab.

Penulis adalah putra kelahiran Selat Panjang, Kab. Bengkalis alumnus Fakultas Hukum International Islamic University (IIU) Islamabad, Pakistan, dan pengajar pada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Jakarta.(Abdul Halim Mahally)

Tuesday, January 15, 2008

AS, Afghanistan, Irak, dan Ekspor Demokrasi

Dalam pidato pelantikan jabatan presiden yang kedua kalinya pada 20 Januari 2005, di Capitol Hill, George W Bush membeberkan kebijakan luar negeri AS paling mengemparkan. Yakni, to seek and to support the growth of democratic movovements and institutions in every nation and culture. Pernyataan Presiden Bush seolah sedang menakut-nakuti negara-negara seperti Kuba, Korea Utara, Arab Saudi, dan sejumlah negara Arab yang dinilainya tak demokratis.

Menurutnya, harapan cerah bagi langgengnya perdamaian di dunia versi AS adalah the expansion of freedom in all world. Apakah ini pertanda bahwa Riyadh, Teheran, Pyongyang, dan Havana wajib menganut sistem pemerintahan yang benar-benar demokratis sesuai dengan demokrasi model Barat? Entahlah. Yang pasti, Menlu AS yang baru, Condoleezza Rice sebelum bertolak ke sejumlah negara di Eropa Barat beberapa hari lalu telah 'membidik' Kerajaan Arab Saudi agar memberikan angin segar bagi tumbuhnya demokrasi di negeri gurun itu.

Kebijakan luar negeri AS yang ditegaskan oleh Bush itu tidak diragukan lagi menimbulkan rasa takut luar biasa di banyak negara. Amerika Serikat dipastikan akan menggunakan segala cara, termasuk agresi militer, untuk menyebarkan nilai-nilai demokrasi. Invasi militer AS ke Afghanistan dan Irak adalah buktinya. Pemerintahan yang diklaim non-demokratis di kedua negara itu telah resmi runtuhkan. Baik Kabul maupun Baghdad telah menyelenggarakan pemilu yang dalam anggapan mayoritas dunia Barat, khususnya AS, sungguh-sungguh demokratis. Hamid Karzai terpilih sebagai Presiden Afghanistan, sedangkan Iyad Allawi sukses menempati posisi Perdana Menteri di Irak sebelum dan setelah masa transisi.

Gagal
Pertanyaan menarik yang layak kita ajukan adalah: apakah ambisi Bush menyebarkan nilai-nilai demokrasi itu bakal terwujud? Pemerintah Bush nampaknya sangat yakin dengan keberhasilannya. Terlebih, bila Gedung Putih menganggap invasinya ke Afghanistan dan Irak benar-benar menuai sukses. Padahal, Afghanistan dan Irak belum bisa dikatakan stabil hingga sekarang. Hamid Karzai memenangkan pemilu multipartai 9 Oktober 2004 di Afghanistan. Tapi, Negara Islam Afghanistan di bawah Karzai masih rawan. Keberadaan ribuan tentara AS di Kabul ternyata tak berhasil menghentikan aksi-aksi bersenjata yang dilancarkan sisa-sisa Taliban, utamanya di Afghanistan Timur.

Tak heran bila banyak rakyat Afghan sendiri malah ingin 'bernostalgia' dengan era Taliban. Soalnya, siituasi keamanan di bawah pemerintahan Mullah Omar sangat stabil. Dengan sistem pemerintahan yang diklaim Barat tidak demokratis, Taliban mampu menciptakan stabilitas di negeri yang dilanda perang selama 23 tahun itu. Sayang, rezim Taliban hanya berumur 6 tahun. Agresi militer AS dan sekutunya sejak 7 Oktober 2001 memaksa Taliban gulung tikar pada 13 Nopember 2001 setelah dibombardir secara besar-besaran dengan pelbagai jenis bom -- carpet, cluster dan bunker-busting bombs-- melalui laut, udara dan darat.

Tetapi, kekacauan berisi serangkaian aksi pembunuhan, penjarahan, dan konflik antarpenguasa lokal malah tak terhindarkan. Sekitar 4.500 pasukan ISAF (International Security Assistance Force) di Kabul tetap mandul menciptakan keamanan. Bahkan, Wapres Afghan sendiri, Abdul Qadir, tewas diberondong di jantung kota Kabul pada 6 Juli 2002. Nasib baik untungnya masih berpihak pada Pangab Afghan, Jenderal Qasim Fahim Khan, yang hampir melayang nyawanya terkena serangan bom saat berkunjung ke wilayah Jalalabad di Afghanistan Timur. Hamid Karzai juga hampir tewas dalam ledakan bom di Kandahar, Afghanistan Selatan, ketika mengunjungi tempat munculnya milisi Taliban di akhir tahun 2003. Keberuntungan juga masih dimiliki Jenderal Abdul Rashid Dostum, tokoh Aliansi Utara dari suku Uzbek, yang selamat dari upaya pembunuhan tiga pekan silam.

Kasus konflik bersenjata di Irak pascajatuhnya Baghdad pada 9 April 2003 juga bukti kegagalan AS. Baku tembak antara pasukan koalisi pimpinan AS dan pejuang Irak belum usai sampai detik ini. Aksi-aksi bom bunuh diri makin marak. Meski pemilu diselenggarakan pada 30 Januari 2005 dengan Iyad Allawi terpilih sebagai PM, Irak tetap belum stabil. Bahkan, empat hari sebelum pemilu, 31 orang marinir AS tewas. Tak salah bila hampir media massa di Amerika menyebut tewasnya pasukan elite AS dalam sehari itu sebagai 'The Deadliest Day' (Hari Paling Mematikan). Padahal, pada 13 Desember 2003 bertepatan dengan kunjungan Presiden Megawati ke Pakistan, penguasa tentara pendudukan AS di Irak, Paul Bremer, sangat sesumbar bahwa tertangkapnya Saddam Hussain pada hari itu akan membuat Baghdad aman. Nyatanya, 150.000 tentara AS berikut 24.000 pasukan dari negara-negara lain yang di Irak belum sepenuhnya bisa mengatasi perlawanan bersenjata para gerilyawan Irak.

Apakah pemilu di Irak yang dimonitor 120 pemantau internasional akan gagal mewujudkan demokrasi di negeri 1001 malam itu? Hanya Gedung Putih dan Pentagon yang berhak menjawabnya. Pemerintah Bush telah mengorbankan banyak nyawa prajurit AS di Irak. Itu belum termasuk ribuan anak yatim-piatu yang bapaknya tewas diterjang peluru kaum gerilyawan Irak. Sekiranya Presiden Bush akhirnya mengabulkan permintaan Panglima Komando Pusat AS yang bermarkas di Qatar, Jenderal Abizaid, agar mengirimkan pasukan tambahan ke Irak, hal itu tak pelak hanya akan menambah bilangan janda-janda di kalangan militer Amerika. Sudah 1.500 personel militer AS (ada yang mengklaim 1.905) meregang nyawa sejak invasinya ke Irak pada 20 Maret 2003. Itu belum kerugian secara ekonomi akibat perang. Pemerintah Bush sendiri harus merogoh kocek sebesar 1 miliar dolar AS setiap minggu guna membiayai operasi militernya di seluruh wilayah Irak.

Amerikanisasi
Ambisi besar Bush, sosok yang dikelilingi Kelompok Rajawali, untuk men-demokratisasikan negara-negara yang divonisnya belum demokratis terlalu berlebihan. Taliban dilengserkan, pemilu diselenggarakan dan boneka pilihan AS dijadikan pemimpin. Bush mungkin lupa bahwa kudeta adalah fenomena biasa di Afghanistan. Ratusan tahun Afghanistan menyaksikan perebutan kekuasaan. Dari sejak Habibullah (1901-1919) sampai Presiden Burhanuddin Rabbani (1992-1996) yang dijatuhkan milisi Taliban pada 26 September 1996. Bush juga bisa jadi tak pernah membaca sejarah kudeta di Irak mulai Abdul Karim Kasim (1958-1963 sampai Saddam Hussain (1979-2003). Karenanya, aneh bila Bush sekarang hendak mengekspor demokrasi ke seluruh dunia. Demokrasi yang bermakna dari, oleh dan untuk rakyat seperti didefinisikan oleh Abraham Lincoln memang sistem pemerintahan yang pada saat ini dinilai paling diterima. Namun, melakukan penggulingan rezim guna memaksakan demokrasi seperti halnya di Afghanistan dan Irak jelas dipertanyakan validitas hukumnya. Toh, AS sendiri belum bisa membuktikan keberhasilan demokrasi, baik di Kabul maupun di Baghdad. Kapan Afghanistan dan Irak akan sunyi dari suara letusan senjata dan dentuman meriam tak seorang pun yang secara tepat bisa memprediksinya.

Sementara itu, keinginan AS menggoyang Iran sudah disikapi serius oleh Teheran. Meski tudingan sebagai state-sponsored terrorism begitu keras digaungkan oleh Bush, para pemimpin Iran menyatakan siap berkonfrontasi dengan militer AS. Melalui Ketua Delegasi Iran yang sedang berunding dengan Uni Eropa dalam masalah nuklir, Hassan Rohwani, Teheran tetap juga bersikeras melanjutkan proyek pembuatan senjata pamungkasnya. Sedangkan Korea Utara dikabarkan telah selesai membuat senjata nuklir. Pyongyang siap menggunakan senjata pemusnah massalnya (weapons of mass destruction) jika Washington nekat menggelar aksi militer ke negeri itu.

Hasrat pemerintah Bush untuk melakukan 'Amerikanisasi' terhadap negara-negara lain melalui demokrasi nampaknya sulit tercapai. Hal ini terlepas dari perjalanan selanjutnya, bahwa kenekatan AS itu sebetulnya membuat khawatir, untuk tidak mengatakan takut, mayoritas negara Muslim. Mayoritas dari 57 negara anggota Organisasi Konferensi Islam(OKI) tidak menerapkan demokrasi seperti yang dikehendaki Amerika Serikat. Banyak negara OKI di kawasan Timur Tengah yang masih menganut sistem monarki atau otoriter. Namun, pemerintah Bush tetap tak mudah untuk mengokohkan 'Pax-Americana' sebagaimana dimimpikan Kelompok Neo-Konservatif AS. Sebaiknya Presiden Bush beserta jajarannya mengkaji-ulang kebijakan luar negeri AS yang menekankan penyebaran demokrasi ke seantero jagat. Pemerintah Bush seharusnya bercermin dari kegagalannya menciptakan stabilitas dan keamanan di Afghanistan dan Irak. Karenanya, mengekspor demokrasi model AS, terlebih dibarengi dengan kekerasan militer, hanya akan membuahkan konflik tak berkesudahan. Wallahu'alam.
Dimuat di Harian REPUBLIKA

Sunday, January 13, 2008

After many talks, peace in Aceh still far away

The Aceh conflict could never be resolved if a lack of sincerity, honesty and trust between the government of Indonesia and the Aceh rebels remains unreciprocated. Beginning from the Sukarno era when Teuku Daud Beureuh waged an Islam-based uprising against Jakarta in 1953, followed by the subsequent emergence of Free Aceh Movement (GAM) in December 1976 where Hasan Tiro resumed the struggle, while Soeharto was in power. It continued up to the era of Megawati Soekarnoputri and is now a problem for Susilo Bambang Yudhoyono's government.And yet, separatist sentiment in Aceh has not been resolved, despite the fact that the Military Operation Area (DOM) was removed by president B.J. Habibie (1998-1999) and dialogs were pursued by president Abdurrahman Wahid (1999-2001).

It is nevertheless important to take a close look at the recent talks in Helsinki. The second round of peace talks, which concluded on Feb. 23, 2005 was facilitated by the Crisis Management Initiative (CMI), a global mediator headed by former president of Finland, Martti Ahtissari. To a great degree, the CMI has succeeded, just by bringing the parties in dispute to the negotiating table for the first time since Megawati launched a massive military operation in Aceh on May 19, 2003.

The Indonesian delegation, including three ministers, seemed satisfied that the RI-GAM talks have reached a new understanding on issues pending among them. The delegation is still offering "a special autonomy status" while GAM prefers the use of the term "self-rule". They agreed on another round of negotiations, which will take place in Finland next month.

After the failures of so many talks in the past, GAM and the government of Indonesia seem to have fully realized that "the language of the gun" has proved ineffective to settle their conflicts. The tidal waves that hit Aceh on Dec. 26, 2004, claiming more than 230,000 people while leaving about 400.000 others homeless were perhaps another reason why the two sides got closer and agreed to a dialog. Hundreds of GAM members died or went missing when the tsunami swept away Meulaboh and Banda Aceh, while relatives of GAM's Sweden-based high command may have been affected too.

I suddenly remembered while watching local Indonesian TV news, how the government of Megawati, in April 2003, accused GAM of violating the Cessation of Hostilities Agreement (COHA). On the other side, GAM denied the allegations and stated through its spokesman in Sweden, Bachtiar Abdullah, that it was still abiding by the COHA, an agreement signed in Geneva on Dec. 9, 2002. It is difficult to judge which side was the first cease-fire violator of the COHA. What was very clear, not only the Indonesians, but also the world, was that the deadlock in the COHA was leading inevitably to the imposition of a military operation in Aceh, which occurred a month later in May 2003.

However, many observers predicted that the Megawati government's bold decision to deploy soldiers to Aceh was because she was so inspired by the success of the US invasion of Iraq.President George W. Bush launched the attack on Iraq on March 20, 2003 and on April 9, Saddam's regime fell. Megawati's policy-makers seemingly knew very well that military force could solve the Aceh conflict as Washington did in the Iraqi issue. It was probably based on this fact that Jakarta's negotiations with GAM were cut off. As a result of what they saw in Baghdad, the rooting out of separatism in Aceh by military means was considered the best option.

Unfortunately, Megawati along with her government's inner-circle in Jakarta had clearly underestimated GAM. In spite of repeated statements by Army chief Gen. Ryamizard Ryacudu, recently replaced, in the first days of military operation in Aceh that all rebels would have been crushed quickly, GAM remains strong even if Jakarta subsequently extended the operation for another six months.

The presence of thousands of TNI troops in Aceh, backed by both air power and naval power has not meant the killing of even half of the Aceh rebels, whom Indonesian Military Headquarters in Cilangkap, East Jakarta estimated at 6,000. I personally believe in Ryamizard's sincerity, but he might not have come to the full knowledge that keeping a few hundreds separatists alive would likely be in the interests of some top officers within the TNI.

The GAM-RI efforts to end their long-standing disputes, as we have now seen, are showing positive signs. When guns are no longer effective, then dialogs and talks should be again looked at. This progress must be kept intact. Additionally, what Wiryono Sastrohandoyo, formerly Head of RI's Negotiating Team, and Zaini Abdullah of GAM reached in Geneva's agreement in December 2002 should be included in the forthcoming scheduled talks in Finland. That "the government of Indonesia and GAM share the common objective to meet the aspirations of the people of Aceh to live in security with dignity, peace, prosperity and justice". This must become the fundamental commitment of both the government and GAM. Failing to carefully stick to that would only yield to meaningless further peace negotiations.

Whatever the commitments are made in Finland, the government of Indonesia and the Free Aceh Movement must honor them. The failure of both President Susilo Bambang Yudhoyono and Muhammad Hasan Tiro to learn from the past mistakes as well as the "Tragedy of the Tsunami" would only worsen the situation of already devastated Aceh. They must also learn from what the Chinese military philosopher, Sun Tzu, once said, "there is no instance of any nation having gained a benefit from prolonged war".

In short, peace can prevail in Serambi Mekah (Veranda of Mecca) if traits such as sincerity, honesty, trust and what Sun Tzu concluded are also deeply embedded in the hearts of both Jakarta and GAM. Good Luck!

The writer recently completed his M.A. in Political Science (International Relations) at the International Islamic University in Islamabad, and is now pursuing a Ph.D at Harvard University. He is the author of Membongkar Ambisi Global AS (A Disclosure of U.S. Global Ambition), 2003.