Google
 

Friday, November 9, 2007

Pemicu Munculnya Aliran Sesat

Tulisan Bustanuddin Agus, Guru Besar Sosiologi Universitas Andalas, Padang berjudul Ekstasi dan Aliran Sesat sangat penting untuk direnungkan (Republika, 3/11/07). Kita mungkin digelayuti pertanyaan besar: mengapa pelbagai musibah seakan tak usai melanda negeri ini? Setelah bencana gempa bumi di sejumlah wilayah Tanah Air dan letusan Gunung Soputan di Minahasa dan Gunung Kelud di Jawa Timur, muncul pula paham Al Qiyadah Al Islamiyah.

Mabes Polri menjadi repot karena massa Muslim di berbagai daerah beramai-ramai melakukan penggerebekan dan aksi unjuk rasa. Polri bergegas memburu penyebar aliran meresahkan ini (Republika, 30/10/07). Melalui media cetak dan elektronika, kita juga bisa menyaksikan bagaimana umat Islam di Bogor, Bandung, Padang, Lampung, dan Jakarta bersemangat menuntut agar aliran menyimpang tersebut segera dienyahkan. Perbincangan seputar aliran sesat pun kembali mencuat di mana-mana.

Penyesatan akidah

Aliran bermarkas di Gunung Bundar, Bogor, Jawa Barat, pimpinan Abu Salam alias Ahmad Mushaddeq yang hanya mewajibkan shalat satu kali dalam semalam dan meniadakan puasa ini resmi divonis sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Berbeda dengan Alqaidah (organisasi yang diklaim sebagai jaringan penebar teror dengan tudingan aksi-aksi pengeboman yang dialamatkan padanya) aliran Al Qiyadah Al Islamiyah lebih mengarah pada penyesatan akidah (keyakinan dalam beragama). Kita bersyukur karena MUI dan berbagai elemen masyarakat, utamanya umat Islam segera merespons. Berkaca pada kasus Al Qiyadah Al Islamiyah tersebut, sebenarnya ada pertanyaan yang sangat signifikan: mengapa aliran semacam ini (bisa) muncul? Padahal, di Timur Tengah misalnya, isu-isu aliran sesat nyaris tidak pernah terdengar. Merujuk pada pengalaman penulis selama 10 tahun di Pakistan (pusat Aliran Ahmadiyah sedunia) dan hasil observasi tentang aliran sesat di Tanah Air, setidaknya ada tiga faktor penting yang wajib kita cermati bersama. Pertama, kondisi tersebut muncul akibat kurangnya perhatian tokoh agama pada umatnya. Ketika orang-orang yang dianggap sebagai panutan umat terkesan hanya sibuk mengurusi kepentingan diri sendiri, golongan maupun menceburkan diri kedalam ranah politik, maka wajar bila sebagian dari umat yang tergolong awam mencari pegangan lain. Kalangan awam ini, pada prinsipnya, tidak mempersoalkan apakah ajaran baru yang mereka peroleh menyimpang dari norma-norma akidah. Yang mereka butuhkan adalah untaian kalimat sejuk dan perhatian dari orang yang dianggap sebagai panutan.

Kedua, aliran-aliran sesat itu bisa jadi muncul sebagai grand design pihak asing untuk menghancurkan akidah umat Islam Indonesia. Jika data statistik yang dijadikan patokan, maka Indonesia adalah negara berpenduduk mayoritas Muslim tersbesar di dunia. Ada semacam kekhawatiran bahwa peradaban Islam diprediksikan akan kembali berjaya seperti di masa Dinasti Abbasiyyah (750 M – 1258 M). Kiblatnya tidak lagi di kawasan Timur Tengah, tetapi Benua Asia dengan Indonesia sebagai titik sentralnya. Tentu saja banyak pihak yang sekarang merasa paling bergengsi peradabannya (the most civilized nations) resah jika Islam di Indonesia suatu saat menggeser kejayaan mereka.

Ketiga, boleh jadi para penggagas aliran sesat ini muncul hanya untuk mencari popularitas dan keuntungan pribadi. Sejak era reformasi bergulir dan rezim Suharto jatuh, tidak sedikit orang yang hendak mengail di air keruh. Saat siapa pun bebas berbicara, terbuka pula peluang untuk mempopulerkan diri sendiri (self – declared popularity). Napsu semacam ini tidaklah aneh. Memunculkan aliran baru dalam beragama menjadi pilihan yang dipandang strategis untuk sebuah popularitas. Tak hanya itu, denganbujuk rayu dan kadang disertai ancaman dosa jika tidak mematuhi, maka kalangan awam yang menjadi pengikut aliran baru itu pun rela mengeluarkan sejumlah uang untuk diberikan kepada penyebar ajaran baru, meski mereka sebenarnya diarahkan ke jalan yang sesat.

Saatnya mengurus umat

Untuk mengerem munculnya aliran-aliran sesat lanjutan di masa datang, ada beberapa hal yang dalam hemat penulis harus segera dilakukan. Pertama, para tokoh agama Islam mestilah kembali ke pangkuan umatnya. Saatnya umat diurus lagi dan para ulama tidak boleh lagi menyalahkan satu sama lain. Seperti dinasihatkan oleh Ketua Dewan Fatwa MUI KH Ma’ruf Amin dalam acara Pertemuan Kiai se-Indonesia di Pesantren Nurul Huda Al Islami, Pekanbaru, Riau (25 Agustus 2007), para ulama harus seperti bulan yang menyinari semua alam (public interests). Bukan seperti bintang, yang hanya bersinar untuk dirinya sendiri (personal interest). Ceramah-ceramah agama pun sudah harus disampaikan dengan cara-cara yang sejuk, damai dan ramah (friendly) agar umat merasa nyaman, bukan dibayangi oleh ketakutan. Kedua, Departemen Agama (Depag) wajib merespons dengan cepat setiap muncul keresahan tentang penyimpangan akidah di masyarakat. Sikap lambat Depag justeru merugikan kalangan awam yang memerlukan kepastian soal kebenaran agama yang selama ini mereka yakini. Ketiga, Polri dan jajaran intelijen di negeri ini harus pula mewaspadai adanya strategi asing yang hendak merusak stabilitas nasional. Jika Indonesia sebagai negara Muslim terbesar sukses dihancurkan akidahnya, maka akan selanjutnya negeri ini akan mudah untuk diadu domba. Perlu diingat bahwa Tanah Air kita tercinta ini terdiri dari ribuan pulau dengan beragam suku dan bahasa, yang tentu rentan dengan percikan api permusuhan.

Walhasil, kita wajib berdoa agar Bangsa Indonesia selamat dari bahaya disintegrasi dan penghancuran terselubung, baik oleh elemen internal maupun eksternal. Menjaga persatuan dan kesatuan umat Islam Indonesia sama artinya dengan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) itu sendiri. Ini, jika keutuhan NKRI masih dirasa perlu untuk dipertahankan. (Penulis adalah peserta program Doktor pada National University of Malaysia (UKM)