Google
 

Sunday, February 25, 2007

Ketegangan Militer AS vs Iran

Ketegangan antara Amerika Serikat dan Republik Islam Iran tampak makin memanas.Entah berapa kali Presiden AS George W Bush mengancam akan menggelar mesin perang ke Teheran.

Sebaliknya, Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad bersikukuh menghadapi ancaman Washington. Para ulama Iran juga menyatakan siap memanggul senjata melawan agresi asing. Seperti diberitakan media massa cetak dan elektronik pemerintah Iran telah melakukan sejumlah persiapan jika AS menyerang. Salah satu stasiun televisi swasta di Tanah Air (Rabu/20/2/07) misalnya, menayangkan latihan perang yang digelar militer Iran di enam belas provinsi negara tersebut.

Pemerintah Iran nekat melanjutkan proses uranium enrichment (pengayaan uranium), sebuah kebijakan yang jelas menjengkelkan Amerika. Ketua Tim Negosiasi Nuklir Iran Ali Larijani menolak tegas penghentian program nuklir negaranya seperti diinginkan AS dan Uni Eropa (BBC, 20/2/07). Bagi Bush, kebijakan Iran itu sangat membahayakan kepentingan AS di Timur Tengah, sehingga Washington berhasrat mengirim paket berisi ribuan bom berbagai jenis ke Iran.

Suhu politik yang memanas antara AS dan Iran belakangan ini tak syak lagi mengulangi permusuhan kedua negara di masa lalu.Revolusi Iran 1979 di bawah komando Sheikh Ayatulloh Khomenie tentu masih menyisakan kenangan buruk di mata AS. Saat itu, Kedubes AS di Teheran diserbu kaum revolusioner Iran dan bendera Amerika dibakar massa. Para diplomat AS dijadikan sandera selama 444 hari.

Presiden AS Jimmy Carter memilih upaya negosiasi mengingat Uni Soviet mencaplok Afghanistan di tahun yang sama. Sedangkan bagi warga Iran, penyanderaan lebih disebabkan oleh ulah Washington yang bertahun-tahun melindungi pemerintahan diktator rezim Shah. Jika AS memandang penyanderaan atas misi diplomatiknya di Teheran sebagai sebuah pelanggaran Vienna Convention 1961, penduduk Iran justru menuding AS terlalu banyak intervensi dalam masalah internal mereka.

Alasan Menggempur Iran

Sepertinya masyarakat internasional bakal disuguhi banjir darah akibat nafsu perang kelompok neokonservatif AS. Belum pupus dari ingatan bagaimana Afghanistan digempur (7 Oktober 2001) dan rezim Taliban gulung tikar (13 November 2001).Tak lama kemudian, Irak dihujani pelbagai jenis rudal (19 Maret 2003) dan rezim Saddam dilengserkan (9 April 2003).

Saddam akhirnya tertangkap pada 13 Desember 2003 dan tamat riwayatnya di tiang gantungan akhir 2006. Kini, giliran Iran yang dibidik dengan sejumlah alasan pula.Walaupun tidak ada bukti Iran memiliki senjata nuklir, Washington bersikeras dengan tuduhannya. Pertanyaan besar yang layak diajukan adalah: benarkah Iran telah memiliki senjata nuklir? Ketua Badan Energi Atom Internasional (IAEA) Mohammaed al- Baradei menegaskan bahwa Teheran masih perlu waktu lama lagi untuk membuat bom atom (VOA,20/2/2007).

Namun,pemerintahan Bush tetap menyodorkan tiga hal penting mengapa Iran harus dibombardir. Pertama, pemerintah Mahmoud Ahmadinejad dituding mengembangkan senjata destruksi massal.Kedua,Teheran ikut mendalangi pelbagai aksi teror di Irak yang merenggut banyak nyawa pasukan AS dan sekutunya di Negeri 1001 Malam.Ketiga, Iran bersama-sama dengan Suriah menjadi state-sponsored terrorism (negara pendukung terorisme) dengan menyediakan senjata dan logistik kepada kelompok bersenjata Hizbollah di Lebanon.

Sebaiknya Berkaca

Menyikapi panasnya suhu politik global akibat ketegangan AS-Iran,masyarakat internasional tampaknya akan kembali menyaksikan “drama pembantaian manusia” jika perang tak terelakkan. Para perancang perang di Gedung Putih dan Pentagon sebaiknya berkaca pada kenyataan yang ada bahwa invasi militer AS di Afghanistan dan Irak terbukti tak segera menyelesaikan perang.

Sejak Taliban lengser dan pemerintahan baru Afghanistan dibentuk pada Desember 2002, perang ternyata masih berlanjut sampai sekarang. Keberadaan tentara NATO di Kabul dan beberapa provinsi di negeri yang dilanda perang selama 23 tahun itu gagal menciptakan keamanan dalam arti yang sesungguhnya. Ledakan bom dan serangan gerilya oleh sisa-sisa kekuatan Taliban terjadi di mana-mana. Situasi yang jauh lebih parah juga terjadi di Irak.Aksi-aksi bom bunuh diri dan konflik bersenjata menjadi pemandangan yang amat lumrah sepeninggal Saddam Hussein.

Sudah lebih dari tiga ribu tentara AS dan sekutunya tewas selama pendudukan di Irak mulai tahun 2003 lalu. Bisa dibilang “perang ala Vietnam” seakan sedang dihadapi tentara AS di Afghan maupun Irak. Jika Bush malah berniat menambah jumlah pasukannya di Baghdad, apakah Washington merasa mampu untuk melakoni perang dengan Republik Islam Iran? Entahlah. Yang pasti, Presiden Bush mungkin sudah kehilangan belas kasihan terhadap ribuan tentara AS yang menyabung nyawa secara sia-sia demi “libido perang”para petinggi di Gedung Putih dan Pentagon.

Tekanan Domestik dan Internasional

Untuk menghentikan korban jiwa yang berkesinambungan, ada baiknya masyarakat Amerika menghentikan ambisi gila para pemimpin mereka. Demonstrasi berskala besar seperti pernah dilakukan untuk mengerem perang di Vietnam beberapa dekade lalu perlu dilakukan rakyat AS. Ini, jika mereka masih menyayangi anak-anak muda AS agar tidak menjadi korban di negeri seberang. Warga AS harus berusaha keras menggiring para pemimpin mereka agar menuruti saran analis kondang dari Harvard University Joseph Nye bahwa soft power (upaya damai) dan bukannya hard power (kekerasan militer) yang wajib dijadikan sebagai foreign policy Amerika.

Sedangkan dunia internasional, juga perlu bersatu untuk menekan AS agar tidak gegabah mengumbar mesiu setelah Afghanistan dan Irak. Selain PBB, sejumlah organisasi regional dan internasional, semisal Uni Eropa,ASEAN,Liga Arab,negara-negara nonblok, dan OKI juga harus bersikap tegas terhadap aksi unilateral AS.Hal ini terlepas dari fakta bahwa AS adalah negara terkuat di dunia secara militer. Meski separuh dari (total USD950 miliar) anggaran pertahanan dunia dimiliki AS, tak berarti harus takut bersuara keras terhadap Paman Sam. Dan bila Washington pada akhirnya tetap melakukan adu senjata dengan Iran, sebaiknya kesemua organisasi tersebut tidak perlu lagi mengeluarkan pernyataan bernada mengutuk ataupun mengecam AS, untuk tidak menyatakan dikafani selama-lamanya. Wallahu’alam bisshawab.(*)

Wednesday, February 7, 2007

Alasan AS Menggempur Iran

Ketegangan antara AS dengan Republik Islam Iran makin memanas. Entah berapa kali Presiden Bush mengancam menggelar mesin perang ke Teheran. Sebaliknya, Presiden Mahmood Ahmadinejad bersikukuh menghadapi ancaman Washington. Ulama Iran juga menyatakan siap memanggul senjata melawan agresi asing. Seperti diberitakan media massa, pemerintah Iran telah melakukan sejumlah persiapan jika AS menyerang.

Suhu politik yang memanas antara AS dan Iran belakangan ini, tak syak lagi mengulangi permusuhan kedua negara di masa lalu. Revolusi Iran 1979 di bawah komando Syeikh Ayatulloh Khomenie, tentu masih menyisakan kenangan buruk di mata AS. Saat itu, Kedubes AS di Teheran diserbu Kaum Revolusioner Iran dan bendera Amerika dibakar massa. Diplomat AS dijadikan sandera selama 444 hari. Presiden AS Jimmy Carter memilih upaya negosiasi, mengingat Uni Soviet mencaplok Afghanistan di tahun yang sama. Sedangkan bagi warga Iran, penyanderaan lebih disebabkan oleh ulah Washington yang bertahun-tahun melindungi pemerintahan diktator rezim Shah. Jika AS memandang penyenderaan atas misi diplomatiknya di Teheran sebagai sebuah pelanggaran Vienna Convention 1961, penduduk Iran justru menuding AS terlalu banyak intervensi dalam masalah internal mereka.

Alasan Menggempur Iran

Sepertinya masyarakat internasional bakal disuguhi banjir darah akibat nafsu perang kelompok neokonservatif AS. Belum pupus dari ingatan bagaimana Afghanistan digempur (7 Oktober 2001) dan rezim Taliban gulung tikar (13 November 2001). Tak lama kemudian, Irak dihujani pelbagai jenis rudal (19 Maret 2003), dan rezim diktator Saddam dilengserkan (9 April 2003). Mantan pemimpin tangan besi Irak itu akhirnya tertangkap pada 13 Desember 2003, dan tamat riwayatnya di tiang gantungan pada akhir 2006.

AS memiliki alasan ampuh untuk terus menerus menggelar mesin perangnya. Tragedi 11 September 2001 dijadikan senjata untuk membombardir negara yang Bush kehendaki. Atas nama perang melawan terorisme dan jaringannya, AS seolah berhak mengarahkan moncong senjatanya ke mana-mana. Afghanistan dirudal karena negeri Mullah itu dituding menyembunyikan Osamah bin Laden, tersangka dalang Tragedi WTC dan pemboman dua Kedubesnya di Tanzania dan Kenya pada Agustus 1998. Irak diinvasi karena tiga alasan utama: Baghdad memiliki senjata pemusnah massal (weapons of mass destruction); Rezim Saddam terkait jaringan al-Qaidah, meski ada tidaknya organisasi ini masih menjadi perdebatan yang belum selesai hingga hari ini; Saddam adalah diktator yang anti-demokrasi dan karenanya harus dihancurkan. (AH Mahally: Membongkar Ambisi Global AS, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003).

Kini, giliran Iran yang dibidik dengan sejumlah alasan pula. Walaupun tidak ada bukti Iran memiliki senjata nuklir, namun Washington bersikeras pada tuduhannya. Pertanyaan besar yang layak diajukan adalah: benarkah Iran telah memiliki senjata nuklir? Ketua Badan Energi Atom Internasional (IAEA), Mohammaed al-Baradei, menegaskan, Teheran masih perlu waktu lama untuk membuat bom atom (Kompas, 23/2). Tapi, pemerintah Bush tetap menyodorkan tiga hal penting mengapa Iran harus dibombardir: Pemerintah Mahmoud Ahmadinejad dituding mengembangkan senjata destruksi massal; Teheran ikut mendalangi pelbagai aksi teror di Irak yang merenggut banyak nyawa pasukan AS dan sekutunya; Iran bersama Suriah menjadi state sponsored terrorism (negara pendukung terorisme) dengan menyediakan senjata dan logistik kepada kelompok bersenjata Hizbullah di Libanon.

Sebaiknya Berkaca

Menyikapi panasnya suhu politik global akibat ketegangan AS-Iran, masyarakat internasional tampaknya akan kembali menyaksikan ‘drama pembantaian manusia’ jika perang tak terelakkan. Perancang perang di Gedung Putih dan Pentagon, sebaiknya berkaca pada kenyataan yang ada bahwa invasi militer AS di Afghanistan dan Irak terbukti tak segera menyelesaikan perang.

Sejak Taliban lengser dan pemerintahan baru Afghanistan dibentuk pada Desember 2002, perang ternyata masih berlanjut sampai sekarang. Keberadaan tentara NATO di Kabul dan beberapa provinsi di negeri yang dilanda perang selama 23 tahun itu, gagal menciptakan keamanan dalam arti sesungguhnya. Ledakan bom dan serangan gerilya oleh sisa kekuatan Taliban terjadi di mana-mana.

Situasi yang jauh lebih parah terjadi di Irak. Aksi bom bunuh diri dan konflik bersenjata menjadi pemandangan amat lumrah sepeninggal Saddam. Lebih 3.000 tentara AS dan sekutunya tewas selama pendudukan di Irak sejak 2003 lalu. Bisa dibilang ‘perang ala Vietnam’ seakan dihadapi tentara AS di Afghanistan maupun Irak. Jika Bush malah berniat menambah jumlah pasukannya di Baghdad, apakah Washington mampu melakoni perang dengan Republik Islam Iran? Entahlah. Yang pasti, Presiden Bush mungkin sudah kehilangan belas kasihan terhadap ribuan tentara AS yang menyabung nyawa secara sia-sia demi ‘libido perang’ petinggi di Gedung Putih dan Pentagon.

Untuk menghentikan korban jiwa yang berkesinambungan, ada baiknya masyarakat Amerika menghentikan ambisi gila pemimpin mereka. Demonstrasi berskala besar --seperti dilakukan untuk mengerem perang di Vietnam beberapa dekade lalu-- perlu dilakukan rakyat AS. Ini, jika mereka masih menyayangi anak muda AS agar tidak menjadi korban di negeri seberang. Warga AS harus berusaha keras menggiring pemimpin mereka agar menuruti saran analis kondang dari Harvard University, Joseph Nye. Bahwa, soft power (upaya damai) dan bukan hard power (kekerasan militer) yang wajib dijadikan sebagai foreign policy Amerika.

Sedangkan dunia internasional juga perlu bersatu untuk menekan AS agar tidak gegabah mengumbar mesiu, setelah di Afghanistan dan Irak. Selain PBB, sejumlah organisasi regional maupun internasional semisal Uni Eropa, ASEAN, Liga Arab, negara Non-Blok dan OKI harus bersikap tegas terhadap aksi unilateral AS. Hal ini terlepas dari fakta bahwa AS adalah negara terkuat di dunia secara militer. Meski separo dari (total 950 miliar dolar AS) anggaran pertahanan dunia dimiliki AS, tak berarti harus takut bersuara keras terhadap Paman Sam.Wallahu’alam Bisshawab.