Agresi militer Israel ke Palestina dan Libanon memang tak bisa dicegah. Kecaman masyarakat internasional tak digubris Tel Aviv. Zionis Israel seakan nampak begitu pongah dengan kehebatan kekuatan bersenjatanya. Negeri berpenduduk 6.2 juta jiwa ini memang paling terkuat secara militer di kawasan Timur Tengah.
Selain dikucuri dana sebesar 3 miliar dolar AS per tahun oleh AS, Israel memiliki transaksi pembelian senjata sebesar 6,3 miliar dolar AS dengan Pentagon. Sebanyak 20 persen defence budget Tel Aviv untuk tahun 2006, misalnya, ditalangi Washington. Kecanggihan peralatan militer seperti jet tempur F-16, F-14 dan F-18 serta rudal Tomahawk yang dimiliki Israel ke semuanya dipasok AS. Bahkan, militer negeri Zionis ini paling terandal di seluruh kawasan Timur Tengah. Itu belum termasuk 200-300 hulu ledak nuklir yang disimpan Israel sejak lama. Apalagi, pemerintah Israel -selain India dan Pakistan- tidak pernah menandatangani Pakta Non-Proliferasi Nuklir 1960 (NPT) sehingga ia bebas membeli atau mengembangkan senjata pemusnah massal itu.
Sikap Tegas
Dalam hemat penulis, perilaku ekspansionis Israel di kawasan Timur Tengah masih bisa ditahan dengan setidaknya tiga kekuatan. Pertama, PBB. Jika DK PBB masih berniat menjaga perdamaian dunia, maka pengiriman pasukan ke Timur Tengah untuk mengusir tentara Israel dari Palestina maupun Libanon merupakan keharusan. Ini terlepas dari sikap pesimisme dan kebosanan yang melanda masyarakat internasional bahwa PBB, lembaga yang didirikan di tahun 1945, selama ini kerap terbukti hanya mampu mengecam atau mengeluarkan resolusi tanpa implementasi. Karena itu, diperlukan keberanian negara besar seperti Prancis, Rusia dan Cina untuk menggertak Amerika Serikat yang selalu memveto setiap keputusan DK PBB yang dianggap merugikan Israel.
Kedua, Nasionalisme Arab. Sejarah membuktikan bahwa Bangsa Arab pernah mampu menggalang persatuan untuk menggelar mesin perang dengan Israel. Perang Arab-Israel di tahun 1948, 1956, 1973, dan 1982 adalah bukti kongkrit kemampuan negara-negara Arab melawan negeri Zionis itu (Bernard Lewis, The Crisis of Islam: Holy War and Unholy Terror, Great Britain: The Orion, 2003).
Jika PBB tidak lagi memainkan peran, maka saatnya Bangsa Arab kembali meneriakkan slogan ''Nasionalisme Arab'' yang dulu digagas almarhum Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser. Yang sampai sekarang dipermasalahkan adalah minimnya sentimen nasionalisme di kalangan negara-negara Arab. Andai para pemimpin di Arab Saudi, Mesir, Yordania, Iran, Suriah, Sudan, Yaman, Uni Emirat Arab, Qatar, Maroko, dan Libya belum melupakan konsep Pan-Arabisme versi Nasser, bisa dipastikan Israel terhapus dari peta Timur Tengah.
Ketiga, keberanian OKI. Israel juga bisa mudah dihancurkan bilamana negara-negara Muslim yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) mau menjajal keberanian mereka. Selama ini, OKI hampir tidak jauh beda dengan PBB: Sebatas mengecam dan mengutuk setiap tindak kekerasan militer yang dilakukan tentara Israel. Afghanistan dihujani bom (2001), Irak dirudal (2003), tapi OKI diam seribu bahasa. Agresi Israel ini merupakan momen yang tepat untuk menunjukkan taring OKI yang sebenarnya. Sungguh memalukan jika jumlah umat Islam yang mencapai 1,3 miliar jiwa benar-benar ''banci'' hanya untuk menghadapi 16 juta orang Yahudi di muka bumi ini. Apabila OKI ternyata tetap ''impoten'' dalam mencegah perilaku brutal Zionis Israel, maka tak diragukan lagi OKI termasuk PBB sudah harus cepat-cepat dikafani untuk dikuburkan secara massal.
Kebangkitan Islam?
Apabila keberanian OKI dianggap sebagai benturan peradaban, mungkin sudah saatnya. Pun tak perlu dicemaskan analisa Samuel P Huntington dalam bukunya ''Clash of Civilizations and the Remaking of New World Order: 1995''.
Salah satu mufassir Islam kenamaan, Ibnu Katsir, bahkan ratusan tahun sebelum Huntingnton dilahirkan telah memprediksikan bakal terjadinya ''at-Tashoodum al-Hadhlori'' (benturan peradaban). Abad ke-21 sangat boleh jadi merupakan abad kebangkitan Islam di jagat raya ini. Jika sejarah masih dianggap relevan untuk ditelisik ulang, maka Islam muncul di abad ke-6 Masehi. Dari zaman Rasulullah SAW sampai Dinasti Abbasiyah (1258), Islam menjadi ''The Greatest World's Civilization'' (peradaban terbesar di muka bumi).
Di awal abad ke-13, kejayaan peradaban Islam benar-benar sirna. Jika hitungan matematika berskala grafik digunakan, sebenarnya Islam muncul dan sukses selama tujuh abad, kemudian mundur selama tujuh abad pula. Artinya, abad ke-21 (tujuh ratus tahun pasca kemunduran) harus menjadi abad kebangkitan umat Islam. Angka tujuh memang menyimpan misteri. Dalam sepekan, jumlah hari adalah tujuh. Surat al-Fatihah (yang masyhur disebut Ummul Quran) berjumlah tujuh ayat. Langit dan Bumi diciptakan Allah SWT dalam tujuh hari tujuh malam.
Lapisan langit pun berjumlah tujuh. Karena itu, setelah sukses selama 7 abad dan redup selama tujuh abad, maka di abad ke-21 (atau tujuh abad kemudian) inilah Islam tak syak lagi harus berjaya.
Lalu, benarkah invasi Israel tahun 2006 ini menjadi salah satu tanda bangkitnya umat dan peradaban Islam? Semoga. Wallahu a'lam bisshowab.***
Abdul Halim Mahally, Kelahiran Selatpanjang, Kabupaten Bengkalis, Riau.
Kandidat doktor pada University Harvard, USA.
Selain dikucuri dana sebesar 3 miliar dolar AS per tahun oleh AS, Israel memiliki transaksi pembelian senjata sebesar 6,3 miliar dolar AS dengan Pentagon. Sebanyak 20 persen defence budget Tel Aviv untuk tahun 2006, misalnya, ditalangi Washington. Kecanggihan peralatan militer seperti jet tempur F-16, F-14 dan F-18 serta rudal Tomahawk yang dimiliki Israel ke semuanya dipasok AS. Bahkan, militer negeri Zionis ini paling terandal di seluruh kawasan Timur Tengah. Itu belum termasuk 200-300 hulu ledak nuklir yang disimpan Israel sejak lama. Apalagi, pemerintah Israel -selain India dan Pakistan- tidak pernah menandatangani Pakta Non-Proliferasi Nuklir 1960 (NPT) sehingga ia bebas membeli atau mengembangkan senjata pemusnah massal itu.
Sikap Tegas
Dalam hemat penulis, perilaku ekspansionis Israel di kawasan Timur Tengah masih bisa ditahan dengan setidaknya tiga kekuatan. Pertama, PBB. Jika DK PBB masih berniat menjaga perdamaian dunia, maka pengiriman pasukan ke Timur Tengah untuk mengusir tentara Israel dari Palestina maupun Libanon merupakan keharusan. Ini terlepas dari sikap pesimisme dan kebosanan yang melanda masyarakat internasional bahwa PBB, lembaga yang didirikan di tahun 1945, selama ini kerap terbukti hanya mampu mengecam atau mengeluarkan resolusi tanpa implementasi. Karena itu, diperlukan keberanian negara besar seperti Prancis, Rusia dan Cina untuk menggertak Amerika Serikat yang selalu memveto setiap keputusan DK PBB yang dianggap merugikan Israel.
Kedua, Nasionalisme Arab. Sejarah membuktikan bahwa Bangsa Arab pernah mampu menggalang persatuan untuk menggelar mesin perang dengan Israel. Perang Arab-Israel di tahun 1948, 1956, 1973, dan 1982 adalah bukti kongkrit kemampuan negara-negara Arab melawan negeri Zionis itu (Bernard Lewis, The Crisis of Islam: Holy War and Unholy Terror, Great Britain: The Orion, 2003).
Jika PBB tidak lagi memainkan peran, maka saatnya Bangsa Arab kembali meneriakkan slogan ''Nasionalisme Arab'' yang dulu digagas almarhum Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser. Yang sampai sekarang dipermasalahkan adalah minimnya sentimen nasionalisme di kalangan negara-negara Arab. Andai para pemimpin di Arab Saudi, Mesir, Yordania, Iran, Suriah, Sudan, Yaman, Uni Emirat Arab, Qatar, Maroko, dan Libya belum melupakan konsep Pan-Arabisme versi Nasser, bisa dipastikan Israel terhapus dari peta Timur Tengah.
Ketiga, keberanian OKI. Israel juga bisa mudah dihancurkan bilamana negara-negara Muslim yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) mau menjajal keberanian mereka. Selama ini, OKI hampir tidak jauh beda dengan PBB: Sebatas mengecam dan mengutuk setiap tindak kekerasan militer yang dilakukan tentara Israel. Afghanistan dihujani bom (2001), Irak dirudal (2003), tapi OKI diam seribu bahasa. Agresi Israel ini merupakan momen yang tepat untuk menunjukkan taring OKI yang sebenarnya. Sungguh memalukan jika jumlah umat Islam yang mencapai 1,3 miliar jiwa benar-benar ''banci'' hanya untuk menghadapi 16 juta orang Yahudi di muka bumi ini. Apabila OKI ternyata tetap ''impoten'' dalam mencegah perilaku brutal Zionis Israel, maka tak diragukan lagi OKI termasuk PBB sudah harus cepat-cepat dikafani untuk dikuburkan secara massal.
Kebangkitan Islam?
Apabila keberanian OKI dianggap sebagai benturan peradaban, mungkin sudah saatnya. Pun tak perlu dicemaskan analisa Samuel P Huntington dalam bukunya ''Clash of Civilizations and the Remaking of New World Order: 1995''.
Salah satu mufassir Islam kenamaan, Ibnu Katsir, bahkan ratusan tahun sebelum Huntingnton dilahirkan telah memprediksikan bakal terjadinya ''at-Tashoodum al-Hadhlori'' (benturan peradaban). Abad ke-21 sangat boleh jadi merupakan abad kebangkitan Islam di jagat raya ini. Jika sejarah masih dianggap relevan untuk ditelisik ulang, maka Islam muncul di abad ke-6 Masehi. Dari zaman Rasulullah SAW sampai Dinasti Abbasiyah (1258), Islam menjadi ''The Greatest World's Civilization'' (peradaban terbesar di muka bumi).
Di awal abad ke-13, kejayaan peradaban Islam benar-benar sirna. Jika hitungan matematika berskala grafik digunakan, sebenarnya Islam muncul dan sukses selama tujuh abad, kemudian mundur selama tujuh abad pula. Artinya, abad ke-21 (tujuh ratus tahun pasca kemunduran) harus menjadi abad kebangkitan umat Islam. Angka tujuh memang menyimpan misteri. Dalam sepekan, jumlah hari adalah tujuh. Surat al-Fatihah (yang masyhur disebut Ummul Quran) berjumlah tujuh ayat. Langit dan Bumi diciptakan Allah SWT dalam tujuh hari tujuh malam.
Lapisan langit pun berjumlah tujuh. Karena itu, setelah sukses selama 7 abad dan redup selama tujuh abad, maka di abad ke-21 (atau tujuh abad kemudian) inilah Islam tak syak lagi harus berjaya.
Lalu, benarkah invasi Israel tahun 2006 ini menjadi salah satu tanda bangkitnya umat dan peradaban Islam? Semoga. Wallahu a'lam bisshowab.***
Abdul Halim Mahally, Kelahiran Selatpanjang, Kabupaten Bengkalis, Riau.
Kandidat doktor pada University Harvard, USA.