Google
 

Monday, April 3, 2006

Menanti Kejujuran Habibie, Prabowo, dan Wiranto

Peluncuran buku memoar mantan presiden BJ Habibie menjadi isu hangat belakangan ini. Pasalnya, sejumlah isinya, terutama rumor kudeta pada 22 Mei 1998, sarat dengan kontroversi. Media massa pun beramai-ramai mengulas kasus menghebohkan delapan tahun silam. Dalam bukunya "Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Menuju Demokrasi (Jakarta: THC, 2006)' setebal 549 halaman, Habibie menulis adanya pengerahan pasukan di sekitar Istana Negara setelah dirinya dilantik menggantikan Soeharto pada 21 Mei 1998.

Pangkostrad waktu itu, Letjen Prabowo Subianto, dituding sebagai aktor yang menggerakkan pasukan. Habibie bergegas melengserkan Prabowo dari jabatan Pangkostrad agar posisinya aman. Karena, isu kudeta saat itu begitu mengemuka. Tetapi, Prabowo justeru membantah dirinya melakukan pengerahan pasukan, baik di sekeliling Istana Negara maupun di kediaman Habibie di Patra Kuningan untuk menggulingkan Habibie. Ia malah ingin mengamankan Ibukota dari kepanikan setelah lengsernya Soeharto. Prabowo bahkan menganggap -seperti dinyatakannya baru-baru ini di pelbagai media massa- ada disinformasi yang ditiupkan pihak ketiga sehingga ia harus dicopot dari Pangkostrad.

Dalam argumen Prabowo, kalau ia memang berniat kudeta, sangat mudah. Apalagi, 34 batalyon pasukan ada di bawah komandonya. Hal ini terlepas dari pernyataan Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin (mantan Pangdam Jaya yang kini Sekjen Dephankam dengan pangkat Letjen) bahwa kendali pasukan di wilayah Ibukota saat muncul isu kudeta ada di bawah kewenangannya, bukan Pangkostrad atau Danjen Kopassus. Sebagai Panglima Komando Operasi (Pangkoops) sekaligus Pangdam Jaya kala itu, Sjafrie memegang kendali seluruh pasukan dan ia bertanggung jawab langsung kepada Panglima ABRI, yaitu Jenderal Wiranto.

Apakah sebenarnya ada rencana kudeta di balik pengerahan pasukan di sekitar Istana Negara beberapa saat usai pengunduran diri Soeharto? Hal ini menyisakan misteri yang sulit dijawab. Mengapa Habibie nekad melengserkan Prabowo dari jabatan Pangkostrad tak dijawab dengan memuaskan. Apakah Wiranto selaku Panglima ABRI pemberi informasi kudeta kepada Habibie menyimpan ambisi tertentu? Hal ini juga tak jelas. Pun, seperti tak ada yang mengulas betapa repotnya Jenderal Subagyo HS selaku KSAD ketika ia harus mencopot Prabowo dari Pangkostrad dan Mayjen Muchdi PR dari jabatan Danjen Kopassus.

Sebenarnya, ingin sekali penulis bertanya kepada Jenderal Subagyo HS (kini purnawirawan) ketika beliau menghadiahkan bukunya berjudul 'KSAD Dari Piyungan (Jakarta:2005)' pada halal bihalal di kediamannya, Puri Cikeas, 10 November 2005 lalu. Sayang, waktunya agak mepet, sehingga upaya menelisik peran besar beliau selaku sosok yang ditugasi Jenderal Wiranto untuk melepas tongkat komando di tangan Letjen Prabowo dan Mayjen Muchdi terpaksa penulis urungkan. Namun, dalam opini penulis pribadi, ada tiga hal yang, setidaknya, perlu dicermati.

Tiga argumen
Pertama, langkah Presiden BJ Habibie agar Jenderal Wiranto melepas jabatan Prabowo selaku Pangkostrad merupakan hal tepat. Logikanya, jika Anda sebagai seorang kepala negara diinformasikan ada pengerahan pasukan di luar kendali waktu itu, sudah pasti Anda akan segera meminta Panglima ABRI untuk menindaknya. Paling tidak, Anda mengamankan posisi selaku presiden dari kemungkinan bahaya kudeta.

Kedua, pembelaan Prabowo bahwa dirinya tidak bermaksud kudeta juga bisa diterima. Setidaknya, seorang jenderal seperti Prabowo tentu sudah mengalkulasi betapa kudeta hanya akan meninggalkan preseden buruk bagi citra TNI. Itu belum termasuk perpecahan yang bakal terjadi di kalangan internal militer karena bisa dipastikan tak semua elite ABRI seirama dengan Prabowo. Menantu Soeharto ini ternyata legowo dan tidak mengumbar bubuk mesiu sampai ia diberhentikan dari dinas kemiliteran pada Agustus 1999.

Ketiga, isu kudeta yang disampaikan Jenderal Wiranto selaku Panglima ABRI kepada Presiden Habibie perlu diselidiki. Apakah Wiranto menyampaikan hal tersebut berdasarkan laporan dari bawahannya atau sejatinya merupakan inisiatif sendiri. Jika yang pertama, maka posisinya sebagai pimpinan tertinggi ABRI tidak boleh dipersalahkan. Tetapi, jika yang kedua, maka perlu pula ditelusuri lebih jauh apa yang melatarbelakangi seorang Wiranto berbuat demikian. Kepentingan negara ataukah cemas bila Prabowo -salah satu jenderal populer di kalangan pasukan- melebihi popularitasnya. Sehingga, mendepak Prabowo dengan isu kudeta dianggap paling tepat untuk menjegal kariernya? Bila yang terakhir adalah fakta, maka sesungguhnya telah terjadi unfair competition di kalangan para jenderal.

Menyikapi kontroversi di antara Habibie, Prabowo dan Wiranto, kita hanya bisa menunggu ketiga sosok penting tersebut untuk berlaku jujur. Hanya kejujuran merekalah yang mampu menjawab silang sengketa ini. Ya, kejujuran itu bukan lempar batu sembunyi tangan. Jika Habibie tidak bicara apa adanya, jika Prabowo tidak segera 'memutihkan' dirinya, jika Wiranto juga enggan membuka kata, maka sejarah bangsa Indonesia selamanya akan tetap buram, untuk tidak mengatakan hitam.

Walhasil, penegasan Letjen (purn) Prabowo Subianto untuk menulis buku guna menjawab isu kudeta -dan besar kemungkinan termasuk pelbagai tudingan miring yang dialamatkan kepada dirinya selama ini- layak diacungi jempol. Siapa tahu, akan bermunculan pula sejumlah buku lainnya yang isinya tidak jauh beda: saling memutihkan diri masing-masing. Bagi Prabowo, apa yang akan ditulisnya bisa jadi ikut menjawab keraguan Jenderal Kiki Syahknakri (mantan wakil KSAD) dan Jenderal Soeyono (mantan Kasum ABRI) terhadap dirinya (Republika, 28/9/06). Yang jelas, kita berharap makhluk bernama kejujuran memang masih bernapas di negeri yang diharu biru oleh krisis multidimensi ini.