Sudah maksimalkah pelayanan haji di Indonesia? Pertanyaan itu layak dilontarkan ke Departemen Agama (Depag). Idealnya, sebagai penyelenggara haji selama beberapa dekade, Depag seharusnya dapat terus meningkatkan mutu pelayanannya seperti "slogan besar" yang kerap dipasang di Arab Saudi yang berbunyi khidmat al-hujjaj, syarafun lanaa (melayani jemaah haji kemuliaan bagi kita).
Tetapi, kenyataan di lapangan memprihatinkan. Depag justru tidak bisa memberi pelayanan seperti bunyi slogan itu. Malah sejumlah oknum di Depag menjadikan penyelenggaraan haji sebagai ladang bisnis. Tidak salah bila Ketua Majelis Pengurus Pusat Rabitah Haji Indonesia Ade Mafudin dalam dialog dengan Fraksi Partai Golkar DPR pada 7 Juli 2003 menyatakan bahwa penyelenggaraan ibadah haji telah dikorupsi para oknum Depag.
Untuk menguji kebenaran pernyataan tersebut, saya ingin mengemukakan pengalaman sebagai Tenaga Musiman Haji (Temus) pada 2002. Saat itu saya bertugas di Mekkah dan sangat banyak menjumpai penyimpangan yang dilakukan penyelenggara haji.
Pertama, masalah pemondokan jemaah haji. Tidak seperti penyelenggaraan haji pada 2001, sistem Qur'ah (undian) tidak lagi diterapkan Depag pada 2002. Pada pelatihan haji selama tiga hari di asrama haji di Jeddah, kami para mahasiswa yang bertugas sebagai Temus dari berbagai negara (Timur Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, Amerika, dan Jerman) diberi tahu bahwa jarak pemondokan jemaah haji Indonesia di Mekkah al-Mukarromah ke Masjidil Haram hanya 1-1,5 km. Tapi, ternyata jarak yang sebenarnya 3 km.
Inilah penyebab banyak jemaah yang berusia lanjut terlihat sangat kepayahan untuk pergi ke Masjidil Haram. Entah mengapa Depag tega berbohong kepada publik. Lucunya, ketika Menteri Agama Prof. Dr. Said Agil al-Munawwar berkunjung ke kantor saya di wilayah Taisir di Mekkah, Kepala Sektor V Taisir malah mengatakan kepada Menteri bahwa jarak hotel jwmaah Indonesia dan Masjidil Haram paling jauh hanya sekitar 700 m. Selain itu, kondisi hotel yang disewa juga banyak yang tidak layak huni.
Kedua, pelayanan kesehatan. Untuk masalah obat-obatan, Departemen Kesehatan memang telah menyediakan obat-obatan secara maksimal. Namun, Depag sudah bertahun-tahun terkesan mengesampingkan pelayanan lain, yakni masalah ambulans. Untuk wilayah Mekkah, tempat jemaah haji berdiam selama puluhan hari, Depag sayangnya tidak terlalu peduli dengan kepentingan pelayanan kesehatan kepada para jemaah.
Di kota Mekkah, penyelenggara haji Indonesia memiliki 11 kantor cabang yang masing-masing bertanggung jawab atas 19.500-20 ribu jemaah. Tapi, setiap kantor cabang selama bertahun-tahun hanya memiliki satu ambulans yang tidak layak pakai. Siapa pun pasti akan terkejut dengan fakta ini. Satu ambulans untuk melayani 19.500 jemaah? Jika ada 100 jemaah haji kita sakit dan memerlukan bantuan ambulans dalam waktu bersamaan, apa yang akan terjadi? Tidak mengherankan bila banyak jemaah haji yang tidak mendapat pelayanan maksimal karena ketiadaan armada ambulans yang memadai. Ke mana larinya dana taktis haji yang selama ini disimpan Depag?
Ketiga, Depag banyak merekrut tenaga pembimbing haji dari Indonesia yang, maaf, tidak becus berbahasa Arab atau Inggris. Padahal, jemaah haji kita sangat membutuhkan bantuan orang-orang yang memiliki kemampuan berbahasa asing tersebut. Dapat dipastikan mahasiswa dari berbagai kawasan yang bertugas sebagai pembimbing haji di Arab Saudi yang lebih dominan perannya.
Jadi, kita hanya menghambur-hamburkan dana untuk mendanai orang-orang yang tidak ahli di bidangnya. Tetapi, persentase mereka yang ditugaskan di Arab Saudi dari Depag justru terus meningkat, sedangkan mereka yang ahli berbahasa Arab atau Inggris tidak pernah meningkat dengan berbagai alasan.
Ketiga hal tersebut, setidaknya, menjadi gambaran nyata betapa penyelenggaraan haji di Tanah Suci sungguh-sungguh belum memuaskan. Padahal, setiap tahun Depag memberangkatkan sekitar 205 ribu jemaah dengan menyerap lebih dari Rp 6 triliun untuk menyelenggarakan "hajat besar" itu. Bahwa penyelenggaraan haji telah dimanfaatkan oleh sebagian oknum untuk mengeruk kekayaan memang sulit ditepis.
Untunglah, Komisi VI DPR yang mengirimkan Tim Pemantaunya pada musim haji 2002 bertemu dengan kami sehingga kami pun kemudian melakukan klarifikasi kepada Kabid Haji di Jeddah, H. Nur Kholik Ali MA, yang ternyata memang tidak amanah dalam tugasnya. Ia nekat menyatakan bahwa Temus hanya digaji 80 riyal per hari, kendati dalam Kesepakatan Depag-DPR, honor untuk Temus adalah 90 riyal.
Jika dalam masalah kecil ini saja sejumlah oknum penyelenggara haji telah "berani" menilap hak orang lain, sudah tentu mereka juga banyak melakukan penyimpangan dalam hal lain yang lebih besar keuntungannya, misalnya masalah penyewaan pemondokan jemaah haji. Kami juga tidak habis mengerti penyebab sejumlah oknum di Depag, yang pastilah beragama, "berani" menyalahgunakan amanah yang dititipkan Allah ke pundak mereka selaku pelayan dhuyuf al-rahman (tamu-tamu Allah) di Tanah Suci.
Karena itu, langkah-langkah 32 anggota DPR untuk merevolusi penyelenggaraan haji perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Haji yang memposisikan Depag sebagai wasit sekaligus pemain di dalam penyelenggaraan haji benar-benar perlu direvisi ulang. Sebab, penyelenggaraan haji yang berlindung di belakang jargon keagamaan telah digunakan untuk mengeruk keuntungan segelintir pihak. Tapi, langkah mulia DPR tidak harus dimaksudkan untuk memangkas habis-habisan peran Depag selaku pihak penyelenggara haji di Arab Saudi.
Semangat merevolusi atau merevisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Haji--meminjam istilah Direktur Eksekutif Maslahat Haji, Zaim Uchrowi--sebaiknya bertujuan untuk menggiring Depag pada posisi yang lebih baik. Berarti upaya yang kini tengah ditempuh DPR memang harus didukung secara kolektif dengan maksud untuk memperbaiki kinerja Depag tanpa dibarengi niat untuk "menghabisi" perannya.
Jadi, Depag dan secara garis besar pemerintah, mestilah bersikap legowo dan tidak cepat-cepat kebakaran jenggot, kecuali bila label sebagai "sarang korupsi" masih hendak dipertahankan.
Tempo 25 Juli 2003
Friday, July 25, 2003
Korupsi dalam Penyelenggaraan Haji
Posted by Abdul Halim Mahally at 12:40 PM 0 comments
Labels: Politics
Subscribe to:
Posts (Atom)